Kabar Baik atau Buruk?

10 3 0
                                    

Hai, terheran-heran, ya, kenapa banyak up? Gapapa, sekali-kali.

-Selamat Membaca-
Salam ceria dari Matcha
(◍•ᴗ•◍)❤






"Dokter, dokter! Ke mana Deka, mana Deka?" teriak Clara dari awal masuk rumah sakit. Wajahnya panik, napasnya memburu, ia berlari sekuat tenaga mencari ruangan Deka.

Gallen segera menoleh, mendapati Clara yang masih mengatur napasnya. Sedangkan Devi hanya berjalan santai di belakangnya. Bukan karena tidak panik, tapi ia memilih untuk tetap tenang. Berprinsip semuanya akan baik-baik saja.

"Ada di ruang operasi," sahut Fathir dengan wajahnya yang pucat. Bibirnya kering, matanya sembab. Setelah menangis beberapa waktu, sekarang ia lapar.

Kalil tiduran di kursi penunggu, bantalan dengan paha Gallen yang duduk di ujung kursi. Suasana di rumah sakit cukup tegang. Kalil kelelahan menunggu dan menangis. Sementara Fathir dan Gallen masih mencoba menenangkan dirinya sendiri.

"Hah, Deka dioperasi?" pekik Devi saat mendengar sahutan dari Fathir.

Kakinya maju beberapa langkah dan menatap Fathir tidak percaya. "Kamu gak bohong, kan, Thir? Deka anak kuat, Thir! Deka anak kuat!" Devi menarik kerah seragam Fathir yang berbekas darah milik Deka karena sempat membopongnya.

"Devi, Devi, tenang dulu. Kita semuanya juga panik, kita semua khawatir. Deka emang anak yang kuat, tapi kalau udah kayak gini mau gimana lagi, Dev?" Gallen menarik tangan Devi dan membawanya untuk duduk di kursi pasien. Ia tidak peduli dengan kepala Kalil yang tiba-tiba saja jatuh dan mengenai kursi penunggu yang keras.

Gallen memegang kedua bahu Devi yang bergetar. Air matanya turun, hidungnya memerah, bibirnya juga turut bergetar. Baru saja tadi pagi ingin membelikan roti untuk Deka. Roti selai strawberry yang menjadi favoritnya.

"Tenang dulu, ok? Everything will be fine," ujarnya menenangkan Devi. Gallen menarik badan Devi untuk dipeluk. Diusapnya rambut Devi yang mulai berkeringat.

Gallen dianggap sebagai kakaknya sendiri karena memiliki aura yang tenang, sama seperti Deka. Sama-sama tenang.

Devi terisak di badan Gallen, membiarkan air matanya membasahi seragam Gallen. Gallen tidak masalah, asalkan teman yang merangkap sebagai sahabatnya ini menangis. Seragam yang basah bisa kering.

"Len ...," Kalil memanggil nama Gallen. Gallen hanya berdeham saja.

"Deka belum ke luar, ya?" tanyanya. Tidak dipungkiri, meski ia sempat tertidur, wajahnya masih pucat khawatir.

Fathir yang melihatnya merasa iba. Diantara mereka–Gallen, Kalil, dan Fathir– hanya Kalil yang merasa paling sedih. Semuanya sedih, menangis tentu saja. Tapi, Kalil yang sejak di sekolah menangisnya sangat kencang. Persis seperti anak kecil yang tidak diberi permen oleh orang tuanya.

Kalil beranjak, menghampiri pintu ruang operasi, meskipun sama sekali tidak terlihat apa-apa. Hanya ada celah untuk mengintip cahaya yang ada di dalamnya.

"Ka ... kamu lama banget di sana. Kamu baik-baik aja, kan? Harus sehat lagi, ya, Ka. Jangan sakit, kamu selalu bilang gini ke kita semua. Tapi, sekarang, kamu malah yang merasakan sakit sendirian. Kalau kamu sakit, kita juga yang sakit, Ka. Kita semua yang merasakan." Kalil terisak, dadanya sesak, ingin sekali ia menolak dan berteriak.

Power Actuator  (Terbit ✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang