Beasiswa

219 100 27
                                    

Hallo, bagaimana kabar kalian? Semoga sehat selalu, ya. S ebelumnya terima kasih karena mau mampir dan membaca cerita saya. Saya harap, kalian juga mau untuk memberikan vote dan komentar.

Apabila ada kesalahan di penulisan saya, saya meminta maaf atas kesalahan tersebut. Jika masih ada kesalahan, kalian bisa mengoreksinya langsung di kolom komentar, ya. Nanti akan saya perbaiki.

Terima kasih atas perhatiannya.
-Selamat membaca-

Salam ceria dari Matcha
(◠‿・)








Tahun 2016

Kicauan burung nyaris terdengar berirama, di atas dahan pohon mangga yang berada tepat di samping rumah. Suara hiruk pikuk warga desa dengan kesibukan di awal harinya yang sudah tidak asing lagi didengar.

Seorang anak laki-laki keluar dari kamarnya, lengkap dengan seragam putih biru dan topi yang berada di atas kepalanya. Dasi yang menggantung sempurna di lehernya, membuat ia terlihat sangat rapi seperti anak teladan.

Dia, Merdeka Indonesia, seorang anak kelahiran 17 Agustus 2001 yang kini duduk di bangku SMP kelas 3. Ia beberapa bulan lagi akan lulus dari sekolah.

"Bu, Deka pamit." Salamnya pada sang ibunda. Tidak lupa dengan mencium punggung tangan orang tuanya.

"Hati-hati, uang sakumu minta sama ayah," tutur Ratna -ibu Deka- sembari mengusap kepala putranya yang sudah tertutup topi.

"Eggak usah, Bu. Uang saku kemarin masih ada," tolak Deka dengan lembut.

"Gapapa, minta aja. Yang kemarin disimpan buat tabungan kamu." Ratna tersenyum, menggiring putra semata wayangnya ke ruang tamu, di mana ayahnya yang masih santai membaca koran dengan kacamata andalannya, dan sarung yang masih terbalut sempurna.

Ayah Deka memang seperti ini. Pagi harinya diisi dengan membaca koran dan secangkir kopi atau teh hangat. Masih mengenakan kaos dan sarung karena habis shalat Subuh di musholla.

"Yah, minta uang saku boleh?" Deka bertanya pada sang ayah, tetap dengan penuturan yang lembut dan tidak memaksa.

Sang ayah -Liam- menghentikan kegiatannya membaca koran, merogoh saku bajunya. Setelah dirasa mendapatkan sesuatu, Liam mengeluarkan selembar uang berwarna ungu, lalu, memberikannya pada Deka. "Ini. Sampaikan buat sebulan, nanti ayah kasih sepeda."

"Lho? Mana bisa, Yah. Sepuluh ribu itu biasanya jatah buat dua sampai tiga hari, mana bisa sebulan," protes Deka tidak terima.

Ya, bayangkan saja jika kamu diberi uang sebesar 10 ribu untuk dihabiskan selama satu bulan. Sedangkan kebutuhan di sekolah bukan hanya sekadar untuk jajan, tapi juga pembayaran lainnya. Seperti uang kas, membeli buku atau pulpen.

"Coba saja, kalau bisa nanti ayah beneran kasih sepeda baru. Bukan sepeda onthel peninggalan kakekmu lagi yang sudah lusuh." Liam masih mencoba untuk menjahilinya putranya.

"LHO? Tapi, ya, udah deh, daripada enggak dapat sepeda baru. Mulai hari ini, Deka hemat lagi, enggak usah jajan di sekolah, uangnya buat bayar kas aja seminggu dua ribu," ujar Deka mencoba menuruti, meskipun ia tidak yakin akan bisa melakukannya.

"Nah, sip. Sebulan ada empat minggu, kalau uang kas seminggu dua ribu, jadi sisa dua ribu lagi. Sisanya itu buat jajan kamu." Liam mengusap kepala Deka.

"Dua ribu dapat apa? Nasi aja mana cukup, Yah." Deka masih saja mengelak, mukanya sudah ditekuk seperti kain kusut.

"Nasi, kan, di rumah ada, bawa aja ke sekolah." Liam memakai kacamatanya kembali, membuka lembaran koran yang tadi dibaca.

Power Actuator  (Terbit ✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang