Ini hal yang tak dapat kusangka sebelumnya. Arendt ternyata membawaku mampir ke puncak Menara Sihir Arcane. Sesuatu yang patut kusyukuri adalah aku tak pernah memiliki masalah dengan ketinggian. Karena Menara Sihir Arcane merupakan bangunan tertinggi di kekaisaran ini. Mungkin tingginya sekitar 500 meter jika diukur dari permukaan tanah. Aku tak tahu teknologi apa yang dipakai manusia di era ini hingga dapat membangun gedung kokoh setinggi itu. Yang jelas hal tersebut cukup tak masuk akal, namun luar biasa dalam satu waktu.
"Arendt, untuk alasan apa kau membawaku kemari? Kau tak berniat mendorongku ke bawah sana saat lengah, bukan?" Aku bertanya seraya menelan ludah keluh. Sejauh ini aku mengikuti Arendt karena instingku mengatakan bahwa aku akan aman saat bersamanya. Namun tetap saja tingkah bocah ini masih sering menjadi bahan perdebatan di antara otak dan firasatku.
Anak itu tertawa kecil dan mengelus puncak kepalaku dengan lembut. "Jangan khawatir, karena hal itu tak akan terjadi. Lagipula kau tak bisa mati begitu saja. Kau membawa jantungku bersamamu. Jadi kalau kau mati maka aku juga akan melakukannya bersamamu."
Jujur pernyataan tersebut malah membuatku merinding. "Jangan pernah membicarakan kematian semudah itu. Umurku bisa saja dipangkas sewaktu-waktu. Setiap saat kulalui seolah berjalan di atas lapisan es yang tipis. Kita memang memiliki janji. Tapi lapisan es yang tipis itu membuatku tak bisa mengajak siapapun berjalan bersamaku. Jadi yang bisa kau lakukan saat nantinya aku tenggelam hanya satu, yakni melihatnya dari jauh. Bukan malah berlari mendekat dan menyusulku. Kau tidak boleh ikut tenggelam meskipun kuat berenang sambil menggigil dan memelukku." Mataku menatap ke dalam matanya serius.
Ia tak sedikit pun mengerjap. "Ayolah, mari kita hidup bersama untuk waktu yang lama. Mau di atas lapisan es yang tipis, atau belukar penuh duri aku tak masalah. Karena aku selalu bisa menyusul langkahmu saat kau menjauh. Lagipula, apa kau lupa kalau penyihir sepertiku bisa terbang dan tak perlu kelelahan berlari?"
Kata-kata darinya terdengar menggelikan. Harapan yang pasti terbesit di pelupuk matanya. Tapi aku melihatnya sebagai harapan kosong yang tak berarti. Arendt masih terlalu muda saat mengatakannya hari ini. Jadi suatu saat nanti ia pasti akan melupakannya karena belum mengerti maknanya.
Entah untuk alasan apa... Aku mengecup pipinya karena berpikir bahwa ia sangat menggemaskan saat ini. "Anggap itu berkat." Ucapku yang membuat ia tercengang dengan wajah memerah padam. Hal ini mengingatkanku akan malam kematianku di kehidupan sebelumnya. Malam itu seorang nenek yang memberiku payung mengecup pipiku sambil berkata bahwa itu adalah berkat. Entah itu suatu berkat atau kutukan. Kehidupan baru yang kujalani ini adalah pisau bermata ganda. Di satu sisi umurku tak lama, di sisi lain aku punya kebahagiaan yang tak pernah kudapatkan di kehidupan sebelumnya.
"No-nona, apa yang kau lakukan?" Arendt berucap dengan sedikit terbata. Kukira dia sudah sangat terbiasa dengan sentuhan fisik. Ternyata saat aku yang maju duluan dia mendadak menjadi sangat gugup. Aku tertawa kecil dibuatnya, karena lucu saja melihatnya salah tingkah. Lagipula aku hanya bisa melakukan ini saat Arendt masih anak-anak. Kalau sudah dewasa kita tak mungkin bisa sedekat ini, bukan?
"Maaf aku mengejutkanmu, apa kau tak menyukainya?" Ujarku dengan tawa yang belum reda.
"Ah, kau juga penuh kejutan rupanya." Bocah itu mulai terlihat tenang. Aku memandang jauh ke depan. Tampias angin yang menerpa wajahku terasa dingin. Satu-satunya hal yang kuinginkan sejak di kehidupan sebelumnya adalah memiliki banyak waktu untuk bermalas-malasan. Namun mulai besok sepertinya aku tak akan berdiam diri di dalam mansion saja.
Aku mengerjap sejenak. Hampir seluruh wilayah Kekaisaran Everett dapat diamati dari atas sini. Namun yang paling menarik atensi ada di tenggara wilayah kekaisaran. Di depan sana terbentang luas Danau Sarven yang merupakan penanda batas teritorial antara Kekaisaran Everett dan Kerajaan Blair yang telah hancur.
KAMU SEDANG MEMBACA
SPRING HILL
Ficción histórica[SECOND STORY] Aku mendadak terbangun menjadi Amalthea Hill dalam novel "Tears of Blood". Novel romansa tentang obsesi dan kegilaan dimana semua karakternya tidak ada yang waras sekaligus sadis. Di kehidupan ini aku hanya ingin beristirahat untuk wa...