Setelah terlalu banyak menangis aku akhirnya tertidur pulas sampai larut malam tiba. Wiliam Hill pasti tak mengerti mengapa putrinya yang selalu berteriak padanya mendadak menangis tergugu di dalam pelukannya. Yang jelas aku benar-benar merasa lega setelah sekian lama cuma menahan perasaan sesak ini.
Aku menurunkan kakiku dari atas ranjang dan menenggak segelas air dengan segera. Tenggorokanku kering dan mataku terasa bengkak. Ini hal yang wajar terjadi setelah menangis untuk waktu lama.
Tuk... tuk.... aku tiba-tiba mendengar suara ketukan dari jendela. Karena dalam kondisi sadar dan waspada aku jadi tak terlalu terkejut dibuatnya. Rasa penasaran membawa kakiku beranjak mendekat ke sumber suara. Namun sebelum membuka jendela itu begitu saja, aku menyingkap sedikit tirai, untuk memastikan siapa yang mengetuk dari luar.
Alisku terangkat sejenak. Dengan segera, aku dapat mengenali seseorang di balik jendela tersebut. Tanpa menunggu lama, tanganku bergerak cepat menarik pengait jendela itu dan membukanya.
"Arendt? Bagaimana bisa kau mengunjungi kamarku malam-malam begini?" Ujarku sedikit tak menyangka bahwa bocah itu tengah mendatangi balkon kamarku saat ini.
Arendt hanya melemparkan senyuman. Ia membuka tudung jubah yang dikenakannya dan tanpa banyak bicara memelukku begitu saja. Eh, apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba begini?
"Nona malaikat apa kau sakit? Tubuhmu masih kekurangan mana? Harusnya tadi siang kau ada bersamaku. Aku bisa memberikan sebanyak apapun mana yang kau mau. Jadi jangan sampai sakit, kumohon." Mata birunya yang gelap menatap sendu ke arahku.
Aku kehabisan kata. Bukannya merasa kesal, aku malah melihatnya sebagai anak yang sangat manis saat ini. Tanganku berderak, refleks mengusap puncak kepalanya dengan sendirinya. "Aku sudah baik-baik saja sekarang. Kau tak perlu khawatir. Sebelum itu dapatkah kau menjelaskan kenapa tiba-tiba mendatangiku larut malam begini?" Aku mengulangi kembali pertanyaanku yang ada di awal.
"Tadi siang aku mengunjungi taman kediaman Hill tapi tidak menemukanmu. Aku tidak bisa tidur malam ini karena merindukanmu, jadi aku memutuskan pergi untuk menemuimu sekarang. Nona, ini sangat aneh, kenapa aku terus menerus ingin melihatmu? Bukankah itu tidak normal?" Penjelasan darinya hanya membuatku melongo seraya mengerutkan kening.
"Hei, apa orang tuamu tak mencarimu?" Aku memijit pelipisku sejenak, hampir saja melupakan fakta bahwa seseorang di hadapanku saat ini adalah bocah berusia delapan tahun yang belum bisa lepas dari pengawasan orang tuanya.
"Mereka hanya akan berpikir bahwa aku bosan dan berjalan-jalan sebentar. Jadi tidak apa-apa." Dia menjawab cepat seolah tanpa beban.
Ini lumayan lucu. Mungkin orang tua Arendt sudah terlalu terbiasa dengan tingkah random anaknya, dan menyadari bahwa anaknya dapat melindungi dirinya sendiri. Jadi mau menghilang pun mereka masih dapat berpikir positif bahwa anaknya pasti akan kembali.
Aku menghela napas beberapa saat. Pertama aku harus menyuruhnya masuk ke dalam kamarku terlebih dahulu. Karena jika kita bertemu di balkon seperti sekarang ini, ksatria Hill yang tengah berjaga pasti akan menyadarinya. Urusan setelahnya pasti akan merepotkan. Jadi mari menghindari masalah.
"Woah ini kamarmu?" Arendt terlihat menatap sekeliling dengan takjub setelah aku membawanya masuk. Desain kamar ini memang sudah begini sejak awal. Aku bersyukur karena selera Amalthea asli adalah sesuatu yang netral. Jadi aku tak banyak mengubahnya.
Ngomong-ngomong aku berpikir akan butuh kerja keras untuk membujuk Arendt agar mau membantuku. Namun yang terjadi tak serumit yang kubayangkan. Aku tak perlu bekerja keras untuk menarik bocah ini ke sisiku. Karena ia sejak awal sudah tertarik sendiri untuk menemuiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
SPRING HILL
Tarihi Kurgu[SECOND STORY] Aku mendadak terbangun menjadi Amalthea Hill dalam novel "Tears of Blood". Novel romansa tentang obsesi dan kegilaan dimana semua karakternya tidak ada yang waras sekaligus sadis. Di kehidupan ini aku hanya ingin beristirahat untuk wa...