Musim dingin tiba. Rintik salju turun dengan lembut seperti kapas tipis menghujani bumi. Tanganku terulur di udara, merasakan dingin dan kehangatan yang mengalir menjadi satu. Untuk pertama kalinya aku dapat menyentuh salju dalam hidupku. Di kehidupan sebelumnya aku tinggal di negara beriklim tropis yang tak memiliki musim dingin. Selain itu karena terlampau miskin, aku hanya bisa memikirkan bagaimana cara untuk makan besok, daripada punya cita-cita pergi keluar negeri dan merasakan salju di negara sub tropis. Kenyataan pahit itu sepertinya terbayarkan di kehidupan kali ini.
Musim dingin ternyata bukanlah hal yang luar biasa menarik. Karena aku sama sekali tak menyukai sesuatu yang dingin. Sepanjang mata memandang, hanya ada daratan monoton berseling pepohonan yang dilingkupi salju putih. Meski demikian tidak buruk. Salju yang kurasakan jatuh di tanganku ternyata lembut. Bulir udara yang membeku menjadi es ini membuat hatiku terasa menghangat.
Buggghhh..... suara jatuh berdebum itu membuat kepalaku menengok ke belakang. Kupikir hal buruk tengah terjadi. Namun ternyata bukan sesuatu yang patut kukhawatirkan. Ronald dan Arendt yang dari tadi hanya sibuk beradu mulut, tiba-tiba mengadakan perang bola salju. Aku hanya memandanginya dengan tatapan geli. Mereka menoleh, menyadari bahwa aku mengamati apa yang sedang mereka lakukan saat ini.
"Haha.. sepertinya kalian terlihat akur hari ini." Tegurku disertai tawa kecil yang ringan. Perlahan Arendt datang mendekat dan menarik tanganku. Kemudian diikuti oleh Ronald yang langsung memeluk pinggangku.
Merasa ada yang aneh, aku mengangkat alisku sejenak. "Apa yang terjadi? Kenapa kalian jadi sangat diam begini?" Tanyaku, memandang keduanya tak mengerti.
Ronald menarik ingusnya. Sementara itu Arendt mengusap hidungnya yang terlihat mau mengeluarkan ingus juga. Mereka berdua terlihat sangat menggemaskan. Karena pipi serta hidungnya memerah berkat udara dingin. Rasanya aku ingin mencubitnya karena gemas sendiri.
"Kakak mari membuat manusia salju bersama." Ajak Ronald.
"Tidak, nona buatlah manusia salju bersamaku. Mereka mengatakan jika kita membuat manusia salju bersama seseorang di hari pertama musim dingin, maka kita bisa bersama dengan orang itu untuk menikmati musim dingin lain selamanya." Arendt tak mau kalah. Ia dengan cepat memeluk pinggangku, memohon. Ya, ini cukup lucu karena aku lebih tinggi beberapa senti dari mereka berdua.
"Kakak buatlah manusia salju bersamaku, aku ingin kita bersama selamanya dan menikmati musim dingin yang menyenangkan." Ronald masih tak mau menyerah untuk tetap memohon.
Aku menanggapinya dengan tertawa kecil. Menciptakan embun dingin yang menguap di sekitarku. "Baiklah, ayo kita buat manusia salju bersama. Ronald akan membuat kakinya, Arendt akan membuat badannya. Dan aku akan membuat kepalanya dengan hiasan kerikil dan ranting yang cantik. Mari kita lakukan semuanya bersama." Aku mengelus kedua kepala keduanya bersamaan. Menggiring mereka untuk mengumpulkan salju dan membentuknya menjadi boneka bersama.
Arendt sepertinya hendak melayangkan protes. Tapi saat melihatku tersenyum ke arahnya ia mengangguk dengan mata yang berbinar.
Kami akhirnya mulai bekerja membuat manusia salju bersama. Tak banyak percakapan yang kami lakukan. Namun aku cukup penasaran dengan Arendt yang tiba-tiba sudah muncul di tengah taman keluarga Hill tanpa pemberitahuan sebelumnya. "Arendt, kenapa kau meninggalkan rumahmu saat hari pertama musim dingin begini? Tidakkah cukup sulit terbang saat salju turun?" Aku memulai percakapan pada akhirnya.
"Salju yang turun mengingatkanku pada nona, warnanya putih serta terlihat lembut dan rapuh." Jelas Arendt seraya memadatkan kepalan salju yang ia kumpulkan di sekitarnya.
"Jadi bagimu aku ini serapuh salju, ya?" Aku menghela napas panjang seraya mendongak ke udara. Memandangi rintik salju yang turun, sambil banyak berpikir. Yah, pada kenyataannya aku memang serapuh salju. Itu hal yang tak bisa disangkal di dunia ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
SPRING HILL
Ficção Histórica[SECOND STORY] Aku mendadak terbangun menjadi Amalthea Hill dalam novel "Tears of Blood". Novel romansa tentang obsesi dan kegilaan dimana semua karakternya tidak ada yang waras sekaligus sadis. Di kehidupan ini aku hanya ingin beristirahat untuk wa...