C1

1.2K 64 3
                                    

"Drama banget hidup gue. Bahkan sinetron azab pun tidak semenyedihkan ini, sial."

Gadis itu menunduk, melihat ke bawah dengan tatapan kalut. Kemudian ia menatap ke atas langit, hujan, tak ada bintang. Hanya ada langit gelap yang sesekali menjadi begitu terang karena kilatan petir.

"Mak, kenapa nggak ajak Clara sekalian, sih?" lirih gadis itu membiarkan air hujan menerpa wajahnya yang penuh luka lebam. Bahkan tetesan air di tangannya berubah menjadi kemerahan, bercampur dengan darah. Ia tak menangis, lebih tepatnya sudah lama ia tidak bisa menangis.

Sebelum memutuskan keluar di tengah hujan lebat, ia menikmati kesendirian yang menyakitkan di emperan ruko tak jauh dari jembatan ini. Sendiri yang begitu sakit karena dadanya yang sesak dan tangannya yang tak berhenti mengeluarkan darah, bersumber dari sayatan yang ia buat sendiri.

Ia kembali menundukkan kepala. Memejamkan mata erat, membiarkan rasa sakit fisik dan mentalnya bersatu dengan gumuruh suara petir.

Mungkin, ini terkahir kalinya ia menikmati rasa sakit itu. Karena ia memilih untuk menyerah. Setelah ini tidak ada lagi rasa sakit. Tidak ada lagi penderitaan.

Ya, sebentar lagi, semua akan berakhir.

"Lo gila?!"

Gadis itu membuka kembali matanya, tangannya semakin terasa perih karena terbentur aspal jembatan.  Tak lain karena dorongan pemuda yang saat ini menatap tajam ke arahnya.

Ia mengerjap bingung. Mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.

"Lo mau bunuh diri, hah!?"

Sentakan pemuda itu membuat dia sadar, ia gagal. Gagal untuk mengakhiri penderitaannya malam ini. Menyadari hal itu membuatnya tanpa sadar meneteskan air mata. Entah ia harus bersyukur atau justru menyalahkan pemuda yang saat ini berjongkok di hadapannya. Pemuda yang membuat percobaan bunuh dirinya malam ini gagal total.

Jadi ia masih harus melanjutkan hidupnya yang menyedihkan ini?

"Hei, lihat gue." Pinta pemuda itu tidak lagi dengan nada membentak. Namun Clara justru memeluk kedua lututnya dan menangis. Ia tidak ingin menghadapi dunia yang mengerikan lagi. Tidak dengan rasa sakit dan penderitaan terus-menerus. Ia ingin semuanya berakhir.

Suara hujan deras dan gemuruh petir bercampur dengan suara tangis Clara. Akhirnya, setelah sekian lama air mata itu bisa keluar juga. Karena sebelumnya, sesakit apapun perasaan dan fisik Clara, ia tak akan bisa menangis. Sekalipun saat ia bersimpuh di makam Ibunya.

"Terkadang, hidup memang sangat menyebalkan, bukan?" Clara melirik sekilas pemuda yang sekarang ikut duduk di sebelahnya, bersandarkan pembatas jembatan. Mereka seolah tak terganggu dengan hujan deras yang sejak tadi menusuk-nusuk tubuh.

"Gue nggak tau apa yang lo alami hingga berpikir untuk mengakhiri hidup dengan cara seperti itu. Tapi gue yakin, lo pasti mengalami banyak hal yang berat, 'kan?"

Pemuda itu melirik beberapa sayatan di lengan Clara yang masih mengeluarkan darah. Walau hanya dengan cahaya mobil, ia juga dapat melihat dengan samar bekas-bekas sayatan lain yang sudah memudar.

'Sepertinya gadis ini memang banyak mengalami hal berat.' Batin pemuda itu.

"Hidup memang tidak adil untuk sebagian orang." Lanjut pemuda itu, walau tak ada respons ia tahu Clara mendengarkan.

"Begitu keras dan penuh penderitaan, sampai membuat orang berpikir untuk menyerah." Clara semakin menangis karena kilasan berbagai penderitaannya selama ini berputar di kepalanya.

CTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang