"Halo, Clara ya?" Clara mengangguk, sejujurnya ia ingin menjawab, tapi bingung harus memanggil apa pada wanita dihadapannya ini.
"Berarti sudah bekerja disini hampir sepekan?" Kali ini laki-laki paruh baya di samping Biya yang bertanya. Lagi-lagi ia mengangguk.
"Hampir sepekan lho, Bang." Ucapnya menatap Derren yang duduk di sebrang Biya.
"Maaf Ayah, tadinya Derren mau bilang saat monev akhir bulan nanti. Clara juga masih dalam masa percobaan."
Clara melirik laki-laki yang sejak tadi di panggil 'Ayah'. Agak mirip Biya dan Bayu sih.
"Apa saat ini gue ada di antara keluarga Mumtaz, ada kembaran dan bahkan Ayah Bundanya. What should I do?" Panik Clara dalam hati. Ia benar-benar takut akan menimbulkan masalah untuk Bayu ataupun Derren. Bagaimanapun mereka hanya ingin membantunya.
"Ah, kalian bahas itu nanti aja. Bunda 'kan panggil Clara bukan untuk itu." Clara menatap Bunda Bayu yang tersenyum ramah kepadanya.
"Duduk sini nak Clara."
Clara melirik Bayu, melangkah mendekati sofa saat mendapat anggukan dari pemuda itu.
"Tadi itu keren sekali. Nak Clara sudah lama main piano?"
"Eum, sejak kecil saya suka bermain alat musik, Bu."
Akhirnya Clara menanggil Ibu. Bukankah kalau ini kafe milik keluarga Bayu, artinya orang tua Bayu adalah bosnya?
"Panggil tante aja, teman Bayu kan? Jadi nak Clara selain piano bisa alat musik apa?"
"Sebenarnya banyak alat musik yang pernah saya coba. Tapi yang ditekuni hingga bisa hanya gitar, piano, drum, dan sedikit biola, tante."
"Ah cukup banyak juga bagus-bagus."
"Bunda yakin nggak mau cari guru yang profesional aja?" Tanya Biya membuat Bundanya menggeleng.
"Guru profesional belum tentu bisa menghadapi anak-anak luar biasa seperti mereka. Tapi kamu lihat sendiri 'kan kak, tadi nak Clara bisa menghandle anak-anak?"
Clara jadi bingung, sebenarnya apa yang mereka bahas saat ini.
"Ini ngomongin apa sih, Nda?" Tanya Bayu yang sejak tadi hanya menyimak.
"Bunda lagi cari guru kesenian untuk rumah singgah. Melihat anak-anak antusias menyanyi bersama tadi, Bunda pikir nak Clara cocok untuk menjadi guru seni mereka. Bagaimana, apa nak Clara mau?"
"Eh?" Sungguh Clara tidak menyangka justru ditawari menjadi guru kesenian. Ia pikir, dirinya akan dimarahi atau setidaknya mendengar perdebatan seperti saat Bayu dan Derren dulu.
"Nak Clara bisa pikir-pikir dulu. Tenang saja, kalau sedang ada jadwal mengajar, kamu nggak perlu berangkat kerja di kafe. Ya kan, bang?"
Derren tampak mengangguk pasrah.
"Eum, saya nanti harus bagaimana?"
"Nak Clara hanya perlu ke rumah singgah sepekan sekali. Lalu mengajak anak-anak belajar kesenian. Kalau nak Clara pandainya bermusik, bisa diajarkan ke anak-anak. Ada beberapa anak yang punya bakat bermusik di rumah singgah. Mereka pasti senang." Jelas Bunda Bayu masih dengan senyum ramah.
"Saya hanya mengajarkan musik?"
"Apa nak Clara bisa di bidang kesenian lain? Sebenarnya tidak hanya musik sih, kalau bisa anak-anak juga diajak menggambar atau membuat berbagai kerajinan, yang sederhana saja tidak apa. Tapi karena keahlian kamu di bidang musik, mungkin bisa lebih fokus di sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
C
Aléatoire"Drama banget hidup gue. Bahkan sinetron azab pun tidak semenyedihkan ini, sial." Gadis itu menunduk, melihat ke bawah dengan tatapan kalut. Kemudian ia menatap ke atas langit, hujan, tak ada bintang. Hanya ada langit gelap yang sesekali menjadi beg...