C. 26

129 15 0
                                    

Setelah berdiskusi tentang banyak topik yang berkaitan dengan relationships keduanya semakin mantap untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Mereka banyak bertukar pandangan soal relasi suami-istri, hubungan dengan keluarga pasangan, parenting dan anak, keuangan dalam rumah tangga, hingga pandangan-pandangan politik budaya juga. Pendapat mereka tidak selalu sama, tapi memang pernikahan itu soal saling menghargai kan bukan menyamakan semuanya. 

Clara juga menanyakan sikap yang akan Mumtaz ambil jika dihadapkan pada suatu kondisi, begitu pula sebaliknya. Sejauh ini semua berjalan dengan baik. Sangat baik malah. 

Jadi malam itu, Clara mengirim pesan ke Mumtaz jika dia menerima lamaran itu. Tentu Mumtaz sangat senang dengan jawaban itu. Ia tidak bisa menundanya lagi, esok harinya dia mengajak ayah dan bundanya untuk melamar Clara secara resmi. 

"Jadi nak Clara, apa saya bisa menemui ayahmu untuk melamar Clara secara resmi juga membahas terkait pernikahan kalian?" pertanyaan itu membuat Clara tertegun. Ia melupakan soal ini.

Ia lupa jika dirinya butuh Bapaknya jika akan menikah. Clara membenci fakta itu. Setelah bisa merasakan kebebasan beberapa tahun ini, Clara tidak ingin terikat kembali dengan bapaknya. Tapi ia tidak punya pilihan lain selain menemui bapaknya jika ingin menikah.

Sebenci apapun, beliau adalah Bapak Clara, wali nikahnya yang sah secara hukum maupun agama. 

"Ayah, apa tidak bisa pakai wali hukum saja?" Mumtaz tahu jawabannya tapi ia tetap menanyakan pertanyaan penuh harap itu.

"Kalian pasti tahu itu tidak bisa, wali hukum tetap membutuhkan persetujuan dari ayah Clara. Maaf jika ini membuat Clara tidak nyaman, tapi kita perlu bertemu dengan beliau untuk setidaknya meminta izin."

Clara menghela napas, itu benar. Suka tidak suka Clara harus melakukannya.

"Saya tidak tahu di mana bapak sekarang." ucap Clara akhirnya.

Clara merasakan usapan di tangannya yang saling bertautan untuk menahan berbagai emosi yang ia rasakan sekarang. Ternyata Bunda Mumtaz yang melakukannya. 

"Apa Clara masih di mana terakhir kali beliau tinggal? Kita mungkin bisa mulai dari sana. Tapi yang perlu Clara ingat, Clara tidak melakukannya sendiri. Bunda dan Bayu bahkan Ayah akan menemani Clara menemui beliau."

"Dan jika nak Clara belum siap bertemu beliau dalam waktu dekat, kita bisa menundanya. Take your time, Bayu tidak akan mempermasalahkannya." Ucap Ayah Mumtaz menambahkan. 

Mumtaz ingin jujur jika ia tidak suka jika harus menunggu lebih lama seperti ucapan ayahnya. Tapi dia juga paham, ini tidak mudah untuk Clara, jadi dia harus bersabar hingga Clara benar-benar siap bertemu ayahnya lagi.

Clara tadinya takut keluarga Mumtaz tidak akan menerima masa lalu dan kondisi ayahnya. Tapi jika melihat respons ayah dan bunda Mumtaz , sepertinya mereka sudah tahu soal keluarganya. Mungkin Mumtaz sudah bercerita sebelum mereka melamarnya. Clara tidak marah, itu lebih baik dari pada dia sendiri yang harus menceritakan masa lalunya pada orang tua Mumtaz . 

Jika mereka sudah tahu, harusnya tidak ada lagi yang Clara takutkan, bukan? 

Maka Clara mencoba menguatkan dirinya, ia pasti bisa melalui ini. Hanya bertemu ayahnya dan minta izin, itu tidak akan sulit. 

Skenario terburuk yang ada di kepala Clara, Bapaknya mungkin meminta sejumlah uang kepada keluarga Mumtaz sebegai imbalan untuk melepasnya. Tapi Clara pikir, ayah Mumtaz akan bisa menghandle hal semacam itu dengan baik. Jadi dia tidak perlu khawatir.

***

"Di sini?" Tanya Mumtaz saat Clara meminta untuk menghentikan mobil mereka. 

"Mobilnya hanya bisa sampai sini, gang masuk ke rumah bapak terlalu sempit." Jawab Clara sembari melepas sabuk pengaman. 

CTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang