C 18

312 45 2
                                    

"Boleh duduk di sini?"

Clara mendongakkan kepalanya. Ada Ayah Bayu yang datang membawa nampan berisi minuman dan sepiring kue. Juga tas ransel yang disampirkan di sebelah bahu.

Clara melihat sekitar, memang penuh. Maklum ini jam makan siang, kafe sedang ramai-ramainya.

"Silahkan, Pak." Jawab Clara akhirnya.

"Selesai sift?" Tanya Aldi sambil meletakkan nampan yang dibawa.

"Saya sift siang,"

Tadi ia memang datang lebih awal karena mencoba naik bus. Sayangnya jadwal bus yang melewati kafe hanya ada sebelum dzuhur, jadi ia tiba di kafe lebih awal.

Clara bisa melihat ayah Bayu mengangguk.

"Oh, Clara baca buku itu?"

"Iya Pak, dipinjami Bayu." Jawab Clara karena memang setelah mengembalikan buku Bayu kala itu, pemuda itu memberikan buku lain untuk Clara baca.

"Kamu suka baca buku?"

"Hanya buku-buku tertentu, Pak." atau lebih tepatnya Clara tidak pernah punya cukup uang untuk membeli buku ataupun cukup waktu untuk sekadar menmbaca buku di perpustakaan setelah ia lulus sekolah. 

Belum sempat ayah Bayu menanggapi lagi, Derren sudah datang dari arah dapur menghampiri mereka.

"Ayah boleh Derren bawa Clara? Di dapur kekurangan orang." Ucap Derren yang dibalas anggukan oleh Aldi.

"Mari mengobrol lagi kapan-kapan," ucapnya pada Clara.

Clara mengangguk, "Saya permisi, Pak."

Pukul 18.00 adalah jam pulang kerjanya jika masuk sift siang. Saat ini Clara tengah duduk di ruangan khusus pegawai wanita. Mereka yang muslim diwajibkan sholat magrib dahulu sebelum pulang. Karena Clara tidak sholat, ia memilih duduk santai di ruangan ini, selagi pegawai lain sedang sholat. Tak banyak pegawai perempuan sebenarnya, itu juga mungkin yang menjadi alasan ia betah bekerja di kafe ini. Di tempat kerja Clara sebelumnya, beberapa kali Clara terlibat masalah dengan rekan kerja perempuannya. Permasalahan tak jauh dari mereka yang merasa keberatan dengan sifat keras kepala dan apatis Clara.

Saat pintu ruangan diketuk, dengan malas Clara membukanya.

"Kenapa?" Tanya Clara pada orang yang berdiri di hadapannya.

"Oh, yang sift malam belum datang, dek?" Tanya pemuda itu pada Clara.

Seingat Clara pemuda di hadapannya adalah pegawai senior, mungkin usianya sudah diatas 30 tahun, sudah berkeluarga dan tipe-tipe bapak muda yang baik hati. 

"Sepertinya lagi sholat, Mas." Jawab Clara. 

Pemuda di hadapan Clara tampak berpikir sebelum bertanya. "Lo pulangnya lewat depan balai kota nggak?" Clara hanya mengangguk.

"Bisa bantu delivery? Yang lain hectic di dapur soalnya. Setelah nganter lo nggak perlu balik sini lagi kok, chat aja kalau udah diterima customernya. Kalau dibayar cash, uangnya bisa besok aja, atau lo kirim emoney gapapa."

Clara membuat pertimbangan sejenak sebelum mengangguk. Ia melewati balai kota, jadi tak memberatkannya jika hanya mampir sebentar. Selain itu ia tidak enak jika menolak mengingat pemuda di depannya adalah mentor Clara, selain Derren, selama bekerja disini.

Tidak sampai lima menit Clara sudah berdiri di depan rumah yang dimaksud mentornya tadi. Jaraknya memang tidak jauh dari kafe.

Ia mencari keberadaan bel yang ternyata ada di dekat jendela.

Tak lama setelah Clara menekan bel, keluar seorang remaja SMA, terlihat dari celana seragam yang masih dikenakan, dengan atasan topless.

Walau pertama kali mengantar pesanan, Clara sudah diberi arahan bagaimana harus bersikap di depan customer tadi. Jadi sekarang ia tinggal mempraktikannya.

CTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang