C 21

456 35 3
                                    

"Mau gue panggilkan Derren?" Biya menggeleng.

"Gue cuma mau kasih ini." ucap Biya menyodorkan paperbag yang ia bawa.

"Buat Derren?" tanya Clara dengan raut menebak. Biya menggeleng.

"Buat lo." Jawaban itu membuatnya semakin bingung.

"Dalam rangka?"

"Eum, entahlah. Ini buku-buku yang bantu gue dealing with my, you know. Maybe it can help you too?" Clara mengangguk mengerti, meski ia masih tidak menyangka Biya yang katanya tidak menyukainya, akan melakukan ini.

"Thank you?" ucap Clara bingung harus merespons bagaimana.

"Bayu bilang lo suka baca buku, so, yeah." Biya sendiri tidak tahu harus bersikap seperti apa di depan crush kembarannya ini. Ia berjanji untuk membantu, dan langkah awalnya tentu dengan berdamai dengan Clara. 

"Hanya jika topiknya menarik buat gue. Tapi, thank you." ucap Clara mengangkat paperbag yang diberikan Biya tadi.

"Mungkin kita bisa, eum, berteman?" pertanyaan Biya membuat Clara mengernyitkan dahi tanpa bisa ditahan.

"Tapi beberapa hari yang lalu lo bilang, lo nggak suka sama gue?" Biya juga tidak tahu harus menjawab bagaimana jika mendapat pertanyaan ini.

"Do you pity me?"

Biya buru-buru menggeleng, namun setelah tersadar akan lebih sulit menjelaskan jika ia menolak alasan itu, ia lalu mengangguk.

"Maksudnya, kita ini seperti, senasib? Tapi aku lebih beruntung. Maksudku, we have the same trauma. I've overcome it, but I know how hard it is."

"Gue nggak yakin, ini terasa, aneh?" ungkap Clara jujur. Ia tidak pernah mengantisipasi Biya yang baik seperti ini.

"Gue tahu. Sumpah gue juga ngrasa aneh sama diri gue sendiri, but i cant help it." ucap Biya dengan raut sama frustrasinya.

"Ok, then. Setidaknya bukan cuma gue yang merasa ini aneh." jawab Clara.

"Mau ke rumah singgah bareng?" pertanyaan itu lagi-lagi membuat Clara terkejut.

"Lo ada jadwal ngajar kan?" Clara mengangguk.

"Gue juga mau kesana. Tapi kalau lo merasa ini terlalu aneh, kita bisa pergi sendiri-sendiri." 

Clara melirik jam dinding yang ada di tengah kafe. Kalau ia naik bus, kemungkinan ia akan terlambat. Kalau ia naik ojek online, biayanya cukup menguras kantong. Jadi Clara pikir tidak ada salahnya menerima tawaran Biya. 

Atau salah. Sebab sekarang Clara terjebak di antara kedua orang tua Biya. Ia tak masalah dengan keberadaan Bunda Biya, tapi ia masih bingung harus bersikap bagaimana di hadapan Ayah Biya.

"Kita mampir masjid dulu." itu bukan pertanyaan tapi pernyataan. 

Ini memang sudah jam sholat dzuhur. Harusnya Clara tidak terkejut jika keluarga Biya akan menyempatkan sholat dahulu. Masalahnya, ia tidak tahu harus bagaimana saat di masjid nanti. Ia tidak mungkin pura-pura sholat saat hatinya sendiri tidak merasa pantas untuk melakukannya. Tapi tidak mungkin juga ia berbohong dengan alasan datang bulan atau semacamnya, itu sama saja membohongi dirinya sendiri dan keluarga Biya. Ia tidak mau bertindak seolah-olah dirinya beribadah selama ini. Yang lebih penting dari itu, ia harus menjawab bagaimana jika diajak sholat nanti?

"Clara mau di mobil atau keluar?" tanya Ayah Biya dengan nada tanpa menghakimi. Tidak ada pertanyaan ataupun ajakan untuk ikut sholat. Beliau hanya menanyakan apa ia mau di mobil atau ikut keluar.

"Eum, saya ikut keluar." ucap Clara karena merasa akan aneh jika ia di mobil sendiri.

"Baiklah. Saya akan mengunci mobilnya jika kita semua keluar." 

CTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang