C7

305 47 4
                                    

Setelah diskusi mendalam kemarin, Bayu kembali menjauhi Clara. Ah, bukan menjahui, pemuda itu bilang, ingin fokus mengerjakan skripsi agar segera lulus menyusul kembarannya.

Anehnya, Bayu juga tidak lagi mengirimkan pesan kepada Clara. Pemuda itu benar-benar menghilang selama sepekan ini.

Awalnya Clara berusaha memahami, teman barunya sedang sibuk, ia tidak boleh lebih membebani Bayu lagi. Tetapi lama kelamaan ia merasa kesepian dan kembali sendiri. Ia juga mulai berpikiran buruk, mungkin Bayu memang tidak ingin berteman lagi dengannya. Mengingat diskusi terakhir mereka yang tidak mendapat titik temu. Clara yang tetap kukuh dengan pendapatnya, dan Bayu yang mempertahankan keyakinannya.

Atau mungkin Bayu baru menyadari jika Clara serusak ini. Lalu memutuskan untuk menjauh.

"Cih, harusnya gue nggak semudah itu termakan kebaikannya. Bego banget, Clara. Harusnya dari awal lo sadar, cowok baik-baik kayak dia nggak akan mau dekat sama lo. Harusnya lo nggak berharap." Ucap Clara pada dirinya sendiri.

"Lo tuh nggak pantas." Lanjut Clara terkekeh miris. Ia kembali merasa dirinya buruk, tidak pantas untuk sekadar mendapatkan teman.

"Oke, besok gue harus cari kerja dan balas semua kebaikan dia. Setelah itu, mari sadar diri dengan menghilang."

Clara melirik lengannya. Mengusap bekas-bekas luka yang sudah mengering. Ia sudah lama tidak melakukannya. Karena tak ingin mengecewakan Bayu.

"Sial, kenapa gue harus memikirkan perasaannya. Kenapa juga gue harus takut dia akan kecewa."

Clara membuka pouch make up-nya. Mencari kotak bedak dengan cermin yang sebenarnya masih baru. Seingatnya itu pemberian salah satu pengunjung club saat ia masih bekerja dulu.

Ia melihat pantulan dirinya di cermin kecil itu. Tidak ada yang spesial, wajahnya tidak cantik, bukan buruk, hanya biasa saja. Perpaduan antara wajah bapak dan mamaknya.

"Lo tuh kenapa sih mirip mereka? Bikin malas ngaca aja." Ucap Clara sebelum membanting bedak itu ke lantai.

Ia mengambil pecahan cermin yang cukup besar dan tajam. Kepalanya mulai berisik. Ia menggeleng, mencoba melenyapkan pemikiran yang baru terlintas di kepalanya.

"Gue nggak bisa mati sekarang. Mumtaz sewa kos ini untuk satu bulan, dia akan rugi kalau gue mati sekarang." Ucap Clara mendekatkan pecahan cermin ke lengannya, tanpa menyentuh.

"Seenggaknya gue harus ganti semua kebaikannya. Setelah itu gue bebas." Kali ini Clara mulai menyapukan pecahan cermin ke kulit kuning langsatnya, tanpa menimbulkan luka.

"Tapi kalau sedikit luka tidak masalah bukan?" Gadis itu terkekeh sebelum menekan sisi pecahan cermin yang tajam ke kulitnya. Masuk cukup dalam, sebelum ia mengangkatnya agar lebih ke permukaan.

"Sshh, ini sedikit sakit dibandingkan pakai silet." Ucapnya saat menggerakkan cermin itu, merobek kulit hingga berdarah.

"Pada akhirnya lo kembali lagi Clara. Hahaha. Lo emang nggak tertolong." Tepat setelah mengucapkan kalimat itu ia mendengar bunyi notifikasi ponselnya.

'Gue ke sana besok pagi. Mau sarapan apa?'

Clara terkekeh miris. Kenapa pemuda itu baru muncul setelah ia melakukan hal bodoh lagi. Lalu ia menggeleng cepat, apa ia baru saja berharap Bayu menghubunginya lebih cepat?

"Bodoh, apa yang gue harapkan? Dia cuma kasihan sama hidup lo yang menyedihkan, Clara."

'Oh ya, how was your day?'

CTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang