Clara melirik dengan gelisah pemuda di sampingnya. Ah iya, namanya Mumtaz. Ia harus mengingat nama itu sebagai satu dari sedikit orang baik dalam hidupnya.
"Lo mau gue antar kemana?" Ini yang membuat Clara gelisah, karena ia pun tak tau harus kemana.
Mereka sudah selesai makan sate. Bahkan Clara sudah berganti menggunakan dress panjang, kalau tidak salah namanya gamis, tapi ia tak mengenakan kerudungnya. Pemberian Bayu, karena baju Clara yang jelas basah.
Bayu bilang itu milik saudarinya, tapi tidak masalah jika digunakan Clara.
Saat makan sate tadi, mereka tidak banyak berbicara. Bayu sama sekali tidak bertanya atau mengungkit kejadian tadi pada Clara. Gadis itu juga tidak akan dengan mudah bercerita, apalagi dengan orang asing, walaupun Bayu sudah masuk dalam list orang baik dalam hidupnya.
Tadi Clara hanya bertanya kenapa Bayu melakukan semua ini, dijawab dengan senyum tulus sebelum berkata, "Gue punya kakak perempuan, gue inget dia waktu lihat lo mau lompat. Dia mengalami berbagai hal sulit belakangan ini. Jadi gue rasa, lo pasti mengalaminya juga, bahkan mungkin lebih."
"Selain itu, saat gue down, gue selalu butuh seseorang untuk menolong. Jadi mungkin aja, gue juga bisa sedikit membantu." Lanjut Bayu yang membuat Clara menyadari satu hal.
Ia memang tidak punya siapa-siapa untuk bergantung. Satu-satunya alasan ia bertahan, ibunya, yang biasa dipanggil mamak telah memilih pergi terlebih dahulu. Meninggalkannya di dunia yang kejam ini. Sendirian.
"Jadi, gue antar lo ke mana?" Tanya Bayu lagi karena Clara justru terlihat melamun.
"Gue nggak punya tempat tinggal."
Bayu nampak membuka mulut untuk bertanya, namun ia urungkan.
"Gue diusir dari kosan hari ini, jadi bisa dibilang gue gembel sekarang." Clara mengungkapkan fakta yang juga baru ia sadari.
Bertahan sampai hari esok memang pilihan buruk sepertinya, kalau ia berhasil bunuh diri tadi, tantu ia tak harus pusing memikirkan akan tinggal dimana.
"Lo turunin gue di halte depan aja," Lanjut Clara karena tidak mungkin mereka terus berputar-putar di tengah hujan begini.
"Setelah turun, tujuan lo kemana?"
Bukankan harusnya Bayu tak seperduli ini?
"Entahlah, kalau aja tadi gue berhasil bu-"
"Gue tau kos-an kosong dekat sini." Potong Bayu sebelum Clara menyelesaikan kalimatnya.
Satu hal wajib jika kalian bersama dengan orang yang pernah atau sedang ingin bunuh diri. Jauhkan segala sesuatu yang menjurus ke sana, sekalipun hanya pemikiran, jangan sampai mereka kembali memikirkannya.
"Gue nggak punya apa-apa. Nggak bisa bayar uang ko-"
"Gue traktir." Potong Bayu lagi. Clara terdiam.
"Lo kerja apaan dah? Honor lo segede apa sampai bisa traktir sewa kosan?" Selidik Clara curiga.
Tampang dan sikap Bayu tidak ada unsur nakal, tapi siapa tahu 'kan, pemuda itu sebenarnya bandar narkoba jadi honornya besar? Atau malah mucikari? Jangan-jangan ia ingin dijadikan gadis malam.
"Stop berpikir yang enggak-enggak. Gue masih mahasiswa, dan ya, honor gue nggak segede itu. Tapi lo nggak perlu khawatir masalah kosan, gue bisa bantu. Kebetulan gue ada teman yang orang tuanya punya rumah kos."
Clara terdiam, ia bisa merasakan ketulusan pemuda di sampingnya, tapi, "Kenapa lo sepeduli itu? Kita bahkan baru kenal."
"Entahlah. Gue cuma merasa, lo sebenarnya nggak berniat, you know. Hanya saja keadaan begitu sulit 'kan."
"Sok tahu lo." Sahut Clara walau ia mulai membenarkan dalam hati.
Ia sebenarnya memang masih ingin hidup, tetapi hidupnya hanya terisi rasa sakit dan derita. Sangat sakit sampai ia berpikir untuk mengakhiri semuanya. Agar rasa sakit itu tidak lagi ia rasakan.
"Emang itu sok taunya gue. Alasan sebenarnya hanya lo yang tau, dan gue nggak minta lo untuk kasih tau. Tapi seperti yang gue bilang, mungkin aja esok hari ada kebahagiaan-kebahagiaan kecil. Gue cuma mau sedikit merealisasikan kemungkinan itu. Lewat makan sate, kesukaan lo contohnya."
Clara mengerti sekarang. Bayu bukan mentraktir sate kemudian membiarkannya bunuh diri. Pemuda itu mencoba menunjukkan jika hal-hal kecil bisa menjadi sumber bahagianya.
Tanpa ia sadari, ia memang merasa senang saat makan sate tadi. Kebahagiaan kecil untuk menyamarkan rasa sakitnya. Mungkinkan setelah ini memang ada kebahagiaan-kebahagiaan kecil lainnya?
"Kenapa lo sebaik ini?" Tanya Clara akhirnya.
"Nggak ada alasan untuk berbuat baik. Mungkin aja selama ini lo jarang bertemu orang baik."
Karena di sekeliling Bayu memang banyak orang baik. Bayu besar di lingkungan yang tonik. Berbanding terbalik dengan Clara yang ada di lingkungan toxic. Membuatnya sulit mempercayai kebaikan tulus. Jadi sekarang ia akan bertanya.
"Lo mau apa sebagai balasannya?" Karena dalam hidup Clara, tidak ada yang gratis. Semua butuh pengorbanan. Ada harga yang harus dibayar.
"Menolong itu nggak boleh pamrih." Jawab Bayu terkekeh. Sedikit banyak ia bisa membaca kondisi Clara. Sepertinya gadis itu memang jarang menerima bantuan yang tulus, terlihat dari sikap was was dan respons yang ditunjukkan selama mereka bersama malam ini.
"Gue nggak bisa, lo bilang aja apa yang lo mau sebagai balasan. Gue nggak mau punya utang budi."
"Gue nggak mengharap balasan. Lagian bukannya lo bilang nggak punya apa-apa?" Bayu terkekeh agar Clara tidak tersinggung.
"Ada satu, tubuh gue, ambil aja sebagai imbalannya." Ucapan itu membuat mobil sedikit oleng, karena Bayu yang terkejut.
Pemuda itu menepikan mobil di pinggir jalan sebelum menghadap ke Clara. Ucapan Clara tadi sensitif untuknya, mengingat apa yang terjadi pada kakak kembarnya beberapa bulan lalu.
"Clara dengar. Lo bisa nggak punya apa-apa, tapi bukan berarti melepas harga diri lo. Kalau aja lo mengucapkan itu di depan orang yang salah, lo akan menyesal, sungguh."
"Apa yang perlu disesali? Bahkan kalau gue nggak kabur dari rumah, Bapak udah jadiin gue jalang. Apa bedanya? Bukankan sedikit lebih baik kalau gue jadi jalang hanya untuk satu orang dibanding jadi jalang yang bisa dipakai siapa saja sesuka mereka?"
Bayu menatap Clara tak percaya, Clara sadar, mungkin ia menyinggung Bayu. Menawarkan tubuhnya pada pemuda baik-baik, aish bodoh sekali.
"Maaf kalau buat lo tersinggung, lo orang baik gue sadar itu, jadi harusnya gue nggak bilang gitu ke elo. Tapi gue emang udah nggak punya harga diri, gue serendahan itu, Muntaz. Nggak ada yang perlu gue jaga. Tubuh gue, diri gue, nggak ada nilainya sama sekali." Lanjut Clara. Ia merasa sesak saat mengatakannya, tapi memang begitulah faktanya.
Bayu terdiam, ia menerima informasi yang tidak terduga barusan. Tapi ia tetap tidak setuju dengan cara Clara memandang dirinya sendiri.
"Clara, terlepas dari apa yang lo alami sebelum ini, lo harus tau kalau lo berharga. Tubuh lo, diri lo, semuanya berharga. Coba berdamai dengan apapun yang membuat lo merasa rendah diri. Bagi gue, lo berharga, lo kuat. Lo bisa bertahan sejauh ini dengan berbagai pengalaman buruk yang lo alami, itu nggak mudah. Jadi jika orang bilang lo nggak ada nilainya, jangan dengarkan. Hanya lo sendiri yang tau seberapa berat perjuangan yang sudah lo lalui, maka lo sendiri juga yang berhak menentukan harga diri itu. Kalapun lo belum bisa melakukannya, cukup ingat kalau bagi gue, lo itu berharga."
KAMU SEDANG MEMBACA
C
Random"Drama banget hidup gue. Bahkan sinetron azab pun tidak semenyedihkan ini, sial." Gadis itu menunduk, melihat ke bawah dengan tatapan kalut. Kemudian ia menatap ke atas langit, hujan, tak ada bintang. Hanya ada langit gelap yang sesekali menjadi beg...