C. 27

401 42 6
                                    

Mereka akhirnya menikah. Setelah mengebut persiapan selama satu bulan, akhirnya hari ini Clara resmi memiliki partner hidup dan tidak akan sendiri lagi. Ia sudah punya rumah untuk kembali. Tempat untuk berbagi kasih, sedih, dan bahagianya. 

Sekarang ia sudah bisa mengklaim Mumtaz sebagai miliknya, hahaha. Mumtaz juga tidak membuang pandangan lagi saat mereka bertatapan. Tidak menarik tangan lagi ketika tak sengaja bersentuhan. Bahkan kini, Mumtaz menggenggam erat tangannya. Menatapnya lembut dengan senyum tulus yang begitu indah. 

Ternyata Clara bisa merasakan bahagia sebesar ini ya? 

Syukurlah, ia tidak menyerah malam itu. Siapa sangka orang yang menyelamatkannya dari percobaan bunuh diri kala ini, sekarang berdiri disampingnya. Menjadi pendamping hidupnya hingga di akhirat kelak, aamin. 

"Akhirnya ya, gue nggak perlu mendengar curhatan galau dia lagi." Ucap Biya pada kedua pengantin baru itu. 

Mumtaz melepas genggaman tangan mereka untuk beralih memeluk kembarannya. 

"Thanks Biya."

Biya membalas pelukan itu. "Sekarang Mumtaz udah punya dunia sendiri, sedih dikit sih karena kita udah punya kehidupan masing-masing sekarang. Tapi semoga setelah ini, adek bisa jalani hari-harinya tanpa banyang-banyang Biya lagi, ya. Adek bisa bahagia jadi diri sendiri bersama orang yang adek cintai."

Mumtaz melepas pelukannya. Menatap mata berair kembarannya, membuatnya ikut emosional. "Kak."

"Sekarang dunia Mumtaz bukan soal Biya dan Bila lagi, sudah ada Clara yang harus adek bimbing dan temani. Biya udah ada Derren yang jagain jadi Mumtaz fokus ke Clara ya. Semoga kalian bisa sakinah mawadah warohmah."

Mumtaz mengaminkan dalam hati, ia mengusap air mata kembarannya sebelum kembali memeluk Biya. 

"Maaf ya Bay, lo udah kasih gue banyak banget selama ini dan gue nggak bisa membalas itu. Semoga setelah ini lo selalu bahagia bareng Clara. Thank you always, gue bersyukur banget dapat kembaran seperti lo."

Clara tersenyum saat Mumtaz kembali ke sampingnya dengan mata sembab. Ia mengulurkan tisu dan langsung diterima suaminya. 

Suami ya? Ah pipinya memanas saat menyadarinya, mereka suami istri sekarang. 

"Sayang banget ya sama Biya?"

Mumtaz mengangguk, "Kita udah bareng-bareng sejak di kandungan. Nggak nyangka aja bisa sampai di tahap kita berdua punya kehidupan masing-masing sekarang."

"I should thanks her a lot karena udah menemani kamu sejak awal."

"Hm, and she should thanks you a lot for making her twins the happiest man in the earth."

"Lebay ih." Jawab Clara dengan tawa kecil. 

"Nggak bercanda ya. Aku seneng banget saat ini, nggak pernah merasa sebahagia ini selama hidup."

Clara tersenyum, "Aku juga dan terima kasih buat kamu yang jadi alasan bahagia itu."


****


"Beneran?"

"Nggak tahu, mau mastiin makanya ngajak kamu ke dokter." Jawab Clara malu-malu. 

Menikah beberapa bulan belum bisa membuatnya terbiasa dengan afeksi Mumtaz ternyata. Ia terkadang masih tersipu malu jika berhadapan dengan suaminya ini. 

"Ok, lets go!" Sahut Mumtaz semangat. 

Lalu benar, setelah memeriksakan ke dokter ternyata Clara memang sedang hamil. Mereka memang tidak secara khusus melakukan program hamil ataupun menunda untuk memiliki momongan, berjalan apa adanya saja. Ternyata Allah sudah mempercayakan amanah ini untuk keduanya. 

"Mumtaz." Panggil Clara pelan. 

"Hm?" 

"Aku, bisa jadi orang tua yang baik kan?"

Mumtaz tersenyum lalu mengangguk. "Tentu, jangan lupakan fakta kalau kamu jadi guru favorit di rumah singgah. The kids like you. You gonna be a good mom."

"Semoga ya. Aku hanya takut anak kita kelak merasakan apa yang dulu aku alami, tidak mau jadi orang tua yang jahat."

Mumtaz bangkit dari duduk lesehannya untuk memeluk Clara yang duduk di sofa. "Kita belajar sama-sama ya. Aku tahu sejak sebelum menikah kamu ragu untuk punya anak karena trauma kamu. But here you are, you're so brave untuk ada di tahap ini dan aku sangat berterima kasih karenanya."

"Kamu yang buat aku berani. Kalau bukan sama kamu, aku nggak akan sampai di tahap ini Mumtaz. Nggak akan merasa sebahagia dan dicintai begini. Tiap hari aku selalu berharap Allah kasih kita kesempatan untuk lebih banyak merasakan bahagia di hari-hari yang akan datang. Lalu bisa sama-sama sampai surga-Nya."

"Manis banget sih mulutnya, jadi pengen cium." 

Clara tertawa, "Ketularan kamu."

"Hahaha, jangan ya, nanti aku nggak kuat kalau kamu semanis ini. Cukup aku aja ya bermulut manis ya, cantik."

"Jadi nggak suka, lebih seneng aku jadi galak dan frontal seperti awal ketemu dulu?"

"Suka, suka sisi apapun dari kamu. Mau yang galak, yang manis, yang malu-malu, suka semuanya. I love every single part of you."

Clara menyandarkan kepalanya ke bahu Mumtaz. "Hm, okay."

"Ok aja nih?"

"Hm?"

"Oh jadi kalau I love you balasannya, ok?"

"Hahaha, gitu aja ngambek."

"Tahu aja, sebal." Walau berkata begitu Mumtaz menarik Clara ke dalam pelukannya. Clara terkekeh dalam rengkuhan itu. 

"Love you, too."



END



****

Sudah tamat! 

Akhirnya setelah terbengkalai sekian lama bisa selesai juga. Intinya mereka bahagia, kalau mau tahu anaknya berapa baca ceritanya Biya aja yaa

Terima kasih untuk semua yang sudah membaca dan memberikan dukungannya. Cerita ini sekaligus menutup series A, B, C yang mulai di tulis beberapa tahun yang lalu. 

Semoga ada hal baik yang bisa diambil dari series ini. Pastinya ada kurang dan salah dalam cerita ini ataupun cerita-cerita sebelumnya, itu karena keterbatasan author semata. Jadi tolong di maafkan dan diambil positifnya saja ya.

Sampai jumpa di cerita selanjutnya, jika ada, kekeke

Thank you always <3

Kalau kata Namjoon, "I'm so grateful for everyone's time. Hope you all had such wonderful night (day)!"

Bye bye 👋


CTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang