Bagian 12ᥫ᭡

27 5 0
                                    

Mereka sampai di rumah sekitar pukul sepuluh malam, hal itu membuat mereka berdua tentu saja sangat lelah. Untungnya mendapatkan izin untuk tidak masuk sekolah di hari esok. Kondisi Nataka sudah lebih baik daripada saat di hotel tadi. Setelah minum obat dan istirahat sebentar, panas Nataka sudah turun.

Pintu terbuka dengan Yena yang sudah menunggu mereka. Yena lantas langsung memeluk Kalan dan menciumi pipi Kalan. Sementara Nataka hanya menyaksikan itu di depan matanya. Yena bahkan tidak bergerak dari sisi Kalan.

"Gimana sayang, enak di sana?"

"Enak sih Ma, cuma capek aja."

"Duh anak mama capek ya, yaudah sana ke kamar, mandi air hangat dulu ya, udah Mama siapin. Nataka kamu juga mandi sana, air panasnya habis buat di kamar mandi Kalan, jadi kalau mau kamu rebus air dulu aja sana."

"Iya Ma."

Nataka dan Kalan berjalan ke kamar mereka masing-masing. Nataka langsung mengunci pintu kamar setelah masuk ke dalam sana. Melempar asal tas dan koper yang dia bawa. Marah dengan sikap Yena yang selalu saja membedakan dirinya dengan Kalan hanya karena Kalan lebih pintar dan lebih bisa dibanggakan.

Nataka marah dan melempar semua barang yang ada di meja belajarnya. Selalu saja seperti itu. Dia juga ingin disambut hangat seperti Kalan, dia juga ingin disiapkan air hangat seperti Kalan, dan dia juga ingin bahagia.

Dia berjalan ke kamar mandi, melepas jaket dan menghidupkan shower. Membahasi tubuhnya yang lelah tanpa melepas pakaian yang dia kenakan. Dia bahkan bingung harus apa. Air matanya saja sudah tidak bisa untuk di keluarkan. Apa memang tidak ada bahagia yang boleh dia dapatkan di dunia. Lantas, untuk apa dia hidup?

Nataka jatuh terduduk kala dadanya kembali terasa nyeri. Sakit kepala yang sudah menghilang tadi pun kembali terasa sakit. Lidahnya juga terasa keluh untuk sekadar berbicara. Apa itu sudah waktunya dia untuk pergi? Rasanya sangat sakit sekali, Nataka tidak bisa menghirup udara dengan baik. Beberapa kali Nataka tampak memukuli dada dan kepalanya. Berharap rasa sakit itu hilang dengan sendirinya.

Hingga Nataka tidak bisa menahan lagi rasa sakit itu, dia kehilangan kesadaran di bawah shower yang masih menyala. Tidak ada yang tahu karena memang tidak ada yang peduli dengannya.

ᥫ᭡

Sudah pukul lima pagi, mata Nataka akhirnya terbuka setelah tidak sadarkan diri kemarin malam. Ah, dirinya masih berada di kamar mandi. Ternyata memang dirinya tidak pernah ada yang pedulikan di rumah itu. Nataka berusaha bangkit dari lantai, mematikan shower dan mengganti pakaiannya.

Saat melihat ponsel, ada lima kali panggilan tak terjawab dari Dhafin dan juga Eca. Nataka tersenyum tipis, ternyata masih ada yang peduli padanya. Nataka menghubungi Dhafin terlebih dahulu, walaupun dia yakin jika Dhafin pasti masih tidur. Setelah dua kali menghubungi, Dhafin mengangkat panggilan Nataka.

"Kemana aja sih lo, gue udah bilang buat kabarin kalau udah di Jakarta tapi gak ada satupun telpon atau chat dari lo."

"Ya maaf, gue capek banget semalem Kak, jadi langsung tidur deh."

"Tapi lo aman kan?"

"Aman kok aman."

"Yaudah bagus deh, gue tutup dulu, mau lanjut tidur."

"Iya."

Setelah Dhafin mematikan panggilan mereka, Nataka langsung menghubungi Eca. Tak butuh waktu lama, Eca langsung mengangkat panggilan Nataka.

Rain of Tears ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang