Bagian 28ᥫ᭡

36 4 0
                                    

Happy reading♡
.
.
.
.
.
.
.

Sudah hampir dua tahun Nataka melawan sakit di tubuhnya. Setelah tamat SMA, Nataka bahkan hanya bisa berbaring di tempat tidur. Tidak bisa ke mana-mana karena tidak diperbolehkan oleh dokter. Menahan diri untuk tidak melanjutkan dunia kuliah.

Nataka hanya tidur di kamar yang sesekali ditemani oleh Kalan dan yang lain. Hari itu Nataka meminta waktu untuk sendirian di kamar. Entah apa yang dilakukan Nataka. Intinya dia hanya menuliskan satu surat untuk semua orang yang penting dalam hidupnya.

Nataka meletakkan surat itu di laci meja belajar. Entah kapan surat itu akan dibacakan, mungkin saat Nataka tidak lagi bersama mereka.

Kondisi Nataka sudah tidak bisa disembuhkan, dokter memang buka Tuhan, mereka juga sudah berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan Nataka, namun takdir berkata lain, kanker yang bersarang di paru-paru Nataka semakin ganas dan menyebar ke beberapa bagian tubuh.

Nataka juga bingung harus bahagia atau sedih. Dirinya bahagia karena penyakit itu membuat mereka semua dekat dengannya. Namun di sisi lain dia juga sedih jika harus meninggalkan mereka semua.

Besok adalah hari ulang tahunnya dengan Kalan yang ke sembilan belas tahun. Mungkin, besok juga adalah ulang tahun terakhirnya.

Pintu kamar Nataka diketuk, Nataka mengizinkan karena dirinya sudah selesai menulis surat. Ternyata Eca, dia datang setelah pulang dari kampus. Nataka menyambut Eca dengan senyuman, dia pun memeluk sang kekasih dengan hangat.

"Gimana kuliahnya?"

"Lancar dong, tapi aku kepikiran kamu terus yang."

"Ya aku kan emang ngangenin."

Eca memutar bola matanya, "Kepedean banget tapi emang iya sih."

Nataka terkekeh lalu mengusap rambut Eca lembut. Dia bahagia memiliki Eca sampai saat itu.

"Kalau aku udah gaada, jangan hilangin senyum kamu yang sekarang ya."

Eca tidak suka pembicaraan itu, dia selalu mengalihkan pembicaraan jika Nataka sudah membawa-bawa kematian.

"Eh tadi aku ulangan dapat nilai tinggi loh."

Nataka paham Eca mengalihkan pembicaraan mereka. Namun, dia harus bisa membuat Eca berjanji untuk terus bahagia walaupun tidak bersama dia.

"Ca, jangan alihin pembicaraan dulu, ya? Aku cuma mau kamu janji bakalan bahagia kalau aku pergi."

"Emangnya kamu mau pergi? Kenapa gak ajak aku?" Eca mengatakan itu dengan menahan tangis.

"Karena hidup kamu masih panjang, sayang. Aku mau pergi sendiri aja ya? Kalau nanti udah waktunya kamu pergi, aku pasti jemput kamu."

"Aku sayang sama kamu, berat buat relain kamu buat pergi gitu aja, tapi aku juga gabisa nahan kamu terus-terusan. Kalau nanti kamu pergi, aku bakalan janji buat bahagia sesuai yang kamu mau."

"Janji?"

"Janji."

Nataka kembali memeluk Eca dengan erat. Entah mengapa, Eca merasakan pelukan saat itu benar-benar berbeda. Rasanya seperti sebuah pelukan yang di dalamnya tersirat pamit.

ᥫ᭡

Eca tengah membeli sebuah kue ulang tahu untuk sang kekasih yang hari itu ulang tahun. Sebelumnya, Eca sudah memberitahu Kala jika dirinya telat datang.

Saat itu hari terlihat mendung, membuat Eca dengan buru-buru memesan ojek untuk sampai ke rumah Nataka. Tentu dia juga membelikan kado buat Kalan karena hari itu juga ulang tahun Kalan.

Benar saja, saat Eca sampai, hujan turun dengan derasnya. Beruntung Eca sudah sampai tepat waktu. Eca pun membuka pintu utama dengan santai seperti biasa. Dirinya memang diperbolehkan untuk langsung masuk jika berkunjung.

Rasa beruntungnya sirna begitu saja saat melihat Yena yang menangis di pelukan Gio. Bahkan ada Dhafin, Sagara, dan Agra di sana. Mereka bertiga menatap Eca dengan sendu. Tatapan Eca penuh dengan tanda tanya, apa maksud tatapan mereka?

"Lo masuk aja."

Eca mengangguk dan masuk ke dalam kamar Nataka. Kue yang sejak tadi Eca pegang jatuh begitu saja saat melihat Kalan menangis dengan memeluk Nataka.

Mengapa? Apa kekasihnya sudah pergi? Mengapa harus saat itu? Masih banyak mengapa yang ada di pikiran Eca. Eca tak mengingat apapun setelah itu, dia jatuh tak sadarkan diri.

Dirinya terbangun setelah hampir satu jam pingsan. Masih berada di kamar Nataka. Apa dia baru saja mimpi buruk? Ah iya, mungkin dirinya hanya mimpi buruk. Buktinya dia melihat Nataka masuk ke dalam kamar dengan senyum hangat seperti biasanya.

"Aku tadi mimpi buruk, Nat. Masa kamu pergi gitu aja."

Nataka tersenyum lalu mengusap rambut Eca lembut. "Kamu bahagia?"

Eca mengangguk, "Aku selalu bahagia, apalagi kalau ada kamu di sini."

"Aku gak akan ke mana-mana, Ca. Jaga diri kamu baik-baik ya? Aku tahu kamu bisa jadi Eca yang dewasa, Eca yang menerima semuanya dengan ikhlas. Tolong jaga Kalan, Mama, dan Papa aku ya? Bilang ke mereka kalau aku gak pernah nyesal lahir di keluarga ini."

"Kamu mau ke mana? Langsung bilang aja ke mereka."

Nataka hanya tersenyum. Semakin lama tubuh itu hilang dari pandangan Eca. Membuat Eca memanggil nama Nataka dengan histeris. Pintu kamar terbuka, terlihat Kalan yang masuk dengan wajah yang sembab.

"Lan, kembaran lo mana? Tadi dia di sini ngobrol sama gue, dia katanya mau pergi, dia ke luar ya? Udah dibolehin sama dokter?"

Kalan kembali meneteskan air mata. Dirinya tidak sanggup mendengar ucapan Eca.

"Ca, Nataka udah pergi."

"Iya gue tahu, tapi dia balik lagi kan? Katanya dia gak bakalan ke mana-mana kok. Pasti balik, gue yakin."

"Gue tahu lo berat nerima semua ini, tapi udah ya? Nataka udah gak sakit lagi, dia udah bisa bernapas dengan tenang di sana. Tugas kita di sini cuma bisa ikhlas dan jalani hidup yang masih panjang."

"Nataka di mana?"

"Nataka di depan, sekarang ayo ke depan, kita doain dia sama-sama. Dia udah bahagia sekarang, Ca."

Pada akhirnya, Eca harus benar-benar merelakan Nataka pergi dari hidupnya. Ternyata, Nataka datang hanya untuk berpamitan dengan Eca.

"Nat, walaupun aku udah janji untuk bahagia kalau kamu gaada, rasanya sulit, Nat. Aku lebih bahagia kalau kamu di sini. Tapi aku tahu, aku egois kalau biarin kamu di sini semakin lama. Sakit banget ya, Nat? Makasih dan maaf, Nat. Aku sayang kamu."

Di siang yang hujan, Nataka pergi dari hidup mereka. Meninggalkan rasa sakit yang mendalam bagi siapa saja. Eca suka saat hujan turun, namun dia tidak suka jika air matanya ikut turun. Itu artinya, dunia juga ikut sedih saat Nataka memilih pergi.

-END-

Rain of Tears ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang