Prolog

30 3 0
                                    

PRANG!

Aku menghela napas sambil kembali menyembunyikan tubuhku di balik pintu saat melihat ibu melempar sebotol alkohol ke lantai. Ayah mabuk, ibu marah, lalu mereka bercekcok adalah pemandangan yang aku lihat setiap hari tertama pada malam hari. 

"BISA NGGAK SEKALI SAJA KAU NGGAK MABUK!? LIHAT ANAK KITA DISANA SAMPAI KETAKUTAN!"

Iya, seperti biasa ibu emosi sampai ke ubun-ubun terlihat wajah cantiknya yang mulai memerah.

"AKU SUDAH MENYURUHMU MENGUGURKANNYA TAPI KAU TETAP MELAHIRKANNYA, ITU URUSANMU."

Aku tidak mengerti apa yang ayah katakan, gugur? apa itu? Sejujurnya aku tidak mengerti apa yang mereka perdebatkan sehari-hari, yang aku tahu hanya mabuk adalah kebiasaan jelek. 

"MENURUTMU SALAH SIAPA ANAK ITU LAHIR, KAU YANG MEMULAI."

Pria itu meminum bir langsung dari botolnya hingga tandas. "TERUS SAJA SALAHKAN AKU!" ia lalu menarik kerah baju wanita di depannya. "Asal kau tahu ya, aku menjadi miskin seperti ini karena kalian berdua.." tegas ayah, napas yang berbau alkohol membuat ibu ingin muntah seketika.

"KAU BRENGSEK!" Umpat ibu. 

"Katakan sekali lagi." Kata ayah tidak terima sambil mengangkat tinggi-tinggi botol bir 

PRANK!

Kali ini botol kaca mewarna hijau itu bukan di lempar ke lantai, tetapi di pukul ke kepala wanita itu. Ia meringis kesakitan, darah pun mengucur. 

"Berhenti bacot dan urus anakmu." Tegas pria itu sambil melepas cengkramannya dan mendorong wanita itu hingga tersukur. Setelah itu ia berjalan sempoyongan keluar, terdengar suara mobil yang perlahan menghilang.

Aku yang bersembunyi di balik pintu kamar memberanikan diri untuk maju sambil membawa obat-obatan yang pernah ibu berikan padaku saat aku terjatuh.

"STOP!"

Teriakan ibu membuatku berhenti, sedikit kaget, tetapi aku sudah terbiasa. "Jangan mendekat." katanya dingin tanpa menoleh ke anak gadisnya. Aku bisa mendengar suara parau menahan tangis dan rasa sakitnya. 

"Banyak serpihan kaca, nanti kau terluka.." lirihnya tetapi masih terdengar. 

Itulah ibu, suka membentak dan berteriak. Tetapi aku tahu, itu semua ia lakukan untuk melindungiku.

"Kau.. Masih ingin tinggal bersamaku?" tanya ibu.

Aku langsung mengangguk tegas, walaupun ibu pernah memukulku sekali, aku tidak bisa mengelak bahwa ibulah yang pertama kali kucari saat mataku terbuka di pagi hari. 

"Mara akan selalu menemani ibu dimana pun ibu berada." Sungguh aku tidak tahan untuk segera berlari memeluknya dan mengobati lukanya, meskipun sebenarnya aku belum bisa memberi obat merah dan memasang perban.

Ibu terkekeh, "Letakkan kotak itu, Mara. Lalu mundur 4 langkah, ibu akan mengobati luka ibu sendiri."

Aku sedikit kecewa, lalu mengangguk, meletakkan kotak P3K di lantai dan mundur 4 langkah.

"Seberapa sayang kau kepada ibu?" tanya ibu sambil membersihkan darah dengan tisu.

"Sangat sayang seperti waktu ibu memeluk dan mencium Mara waktu tidur." Aku tersenyum, berharap senyumku dapat membuat ibu senang.

"Kau tahu?" ibu sedikit terkejut.

"Hm!" aku mengangguk. "Mara tidak bisa tidur kalau ibu belum meluk dan kasih cium."

Ibu tersenyum tipis, "apa kau tidak masalah ibu terus membentak dan berteriak?"

"Tidak, karena Mara tahu sebenarnya ibu lembut di dalam." Aku duduk berlutut di lantai masih dengan jarak beberapa meter darinya. "Ibu, jangan pernah tinggalkan Mara ya? Cuma ibu yang Mara punya, cuma ibu yang Mara sayang, Mara benci ayah."

Lagi-lagi ibu tersenyum, kali ini benih air muncul di pelupuk mataya.

"Jangan pernah tinggalin aku ya? Ya? Ibu janji? Kenapa ibu menangis? Ayo jawab pertanyaan Mara, janjikan?" aku menaikkan jari kelingkingku padanya.

Ibu terus menangis dan aku tidak pernah mendapat jawaban yang pasti dari pertanyaanku.

Sampai suatu hari, aku menemukan jawabannya.


*****

THANKS FOR COMING 

Hai gais, mungkin ke depannya aku bakal pakai beberapa ungkapan bahasa inggris sekalian belajar. So, aku sangat untuk kalian yg mau mengoreksi kesalahanku, thank uu and happy reading.

Behind the KnifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang