Telungpuluh Papat

43 8 0
                                    

"Sampean sempat lihat, Cak, pelakunya?"

"Sendiri apa rame-rame?"

"Nggoleki ilmu opo toh arek nekat iki?"

"Nggak mungkin sendiri ini. Pasti rame-rame."

"Ada hubungane sama Mat Kambing ora yo, iki?"

Omongan warga yang mengerumuni Makam Islam Desa Pojok semakin beragam. Semua punya teori masing-masing, tapi yang santer terdengar adalah seputar orang nyari ilmu. Cak Modin, pamannya Jarwo, yang dipasrahi sebagai kuncen kuburan tersebut, hanya bisa terperangah acak-acak rambut, benar-benar tak menyangka ada yang senekat ini menyatroni kuburan. Padahal, seingatnya, tak ada jasad segar dikuburkan belakangan ini.

"Nggak mungkin lagi nyari elmu halimunan, lah, yo. Wong nggak ada jasad perawan segar," kata salah satu warga.

Jarwo mesti membantu Cak Modin untuk menjaga kerumunan tidak memindahkan tulang belulang yang tercerai berai berantakan di tanah. Makam-makam di sini hanya berupa gundukan tanah dan nisan kayu seadanya menancap. Akan sulit nanti mengumpulkan tulang-belulang dan tengkorak yang sesuai dengan identitas tiap nisannya.

"Tak panggilkan polisi dulu, jangan ada yang sembrono," Cak Modin mengingatkan.

Jarwo segera berlari ke rumah demi mengambil ponsel dan mengirim pesan genting ke Jabil dan Yogo. Di rumah, Ibu Jarwo masih syok. Ayah Jarwo menemani ibu. Tak heran, tengkorak manusia banyak bergeletakan di halamannya tadi pagi. Itu merupakan pemandangan horor yang tak biasa buat ibunya.

Jabil dan Yogo Keling datang hampir bersamaan dengan petugas polisi. Dari depan pintu masuk menuju Makam itu, Polisi memasang pita kuning. Kerumunan warga dibubarkan dengan apik oleh petugas polisi. Jabil, Yogo, dan Jarwo mengawasi dari luar pita kepolisian.

"Bukan cuma di sini saja, Bil, yang diacak-acak," kata Yogo.

Jarwo mendelik, terutama dia melihat sosok Lek Narodo di antara kerumunan yang diarak bubar. Lek Narodo memberi tatapan menagih janji ke Jarwo. Sudah begitu, karena makam ini berletak di belakang SMK Pojok, tentu saja juru kuncinya ikut nimbrung. Dialah Joni Damput. Minion dari Bulus Kondang itu berpapasan dengan Jabil dan memberi anggukan sapa.

"Iya, aku juga dengar dari HT polisi tadi," kata Jabil. "Total tujuh makam yang diacak-acak begini."

"Piye, cuk? Ada hubungannya?" tanya Jarwo.

"Bisa jadi. Nanti siang kita kumpul, yo."

"Tamiul ke mana ini?" Yogo Keling menoleh ke sana kemari.

Orang yang dimaksud sedang bertandang di tempat kejadian perkara yang lain, yaitu di Makam Mbah Gerit di dusun Korgan. Tamiul berkeliling sambil tangan di belakang punggung. Bola takraw rotannya tak ketinggalan menyangkut di salah satu jari. Berbeda dari Makam Islam Desa Pojok, di Makam Mbah Gerit lebih ramai oleh pemuda-pemuda pemain gamelan. Belum ada tanda-tanda petugas polsek datang. Tadi malam mereka sedang mempersiapkan panggung untuk memeriahkan acara sedakah bumi yang rencananya akan dilaksanakan hari ini, Jumat Pahing. Tamiul ikut melekan di sana, bantu-bantu sedikit, terutama mengamankan penghuni tak kasat mata. Tak ada yang tahu kapan makam-makam itu terbongkar. Padahal mereka melek semalam suntuk. Menjelang subuh saat mereka turun dari panggung tempat mereka leyeh-leyeh, tengkorak dan tulang belulang sudah berserakan. Makam-makam warga biasa terbongkar, kayu penutup liang lahat berserakan, dan tengkorak bergeletakan sembarangan terlepas dari bagian yang lain. Makam Mbah Gerit sendiri tak tersentuh. Tumben-tumbennya Tamiul tidak peka terhadap pergerakan mencurigakan. Dia mengutuk dirinya sendiri.

"Balung..." sebut Tamiul. Sekarang dia paham pesan petunjuk dari genderuwo rumpun bambu.

Saat terdengar derap langkah sepatu petugas polisi mendekat, Tamiul segera lesap dari sana.

KAMBING TENGKORAK - SERI SIDIK KLENIK #2 (Sekuel Karung Nyawa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang