Telungpuluh Limo

48 9 3
                                    

Jabil mengamati lekat dan cermat papan tulis progres penyelidikan kasus Kambing Tengkorak. Detak jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam mengantarkan sebuah suara ke benaknya. Sebuah pesan dari Janet. "Aku pengin kamu mikir, sih, Bil. Kamu lakukan ini semua karena apa?"

"Demi umat manusia," gumam Jabil, kosong tanpa arti. Itu terlalu sok mulia. Jabil menilik lagi apa dorongannya melakukan ini semua. "Supaya tidak ada lagi yang terluka gara-gara ambisi orang sesat." Untuk saat ini, itu yang terasa paling benar. Itu pula yang diajarkan oleh Ki Supono di pondok. Kini Jabil punya bekal yang lebih lumayan. Dia punya 'kemampuan' yang dulu belum dimilikinya. Jabil menuliskan lagi di bagian papan yang masih bersih, John 1, dan Jane 1. Bagan baru itu dia beri tajuk: Burning Question. John 1 dan Jane 1, memuat pertanyaan: siapa mereka dan kenapa mereka yang disasar?

Hasil rapat pembahasan dari sore jam lima sampai malam jam sembilan tadi menghasilkan rencana baru. Tamiul akan bertandang lagi ke beberapa makam yang kena bongkar sembarangan itu. Firasatnya berkata bahwa ada benda khusus yang ditanam di sana, dan itu akan mengantarkannya ke pelaku. Yogo Keling akan mencari tahu lebih lanjut soal identitas dua korban mutilasi rel kereta api itu. Mereka perlu menemukan pola latar belakang korban yang dijadikan sasaran. Yogo yakin ada media yang memberitakannya, hanya saja dari kemarin mereka belum sempat mengecek.

Sebuah pertanyaan mengusik Jabil. Di mana potongan organ dua korban itu? Sejauh yang mereka semua tahu, dan kerumunan warga yang berusaha keras mencarinya, potongan tangan kanan dan kaki kiri korban tak ditemukan sama sekali. Jabil terduduk, lemas, kepikiran pengalamannya dua tahun lalu. Soal Lek Moktar, bapak Tarom, yang terhasut sesat, mengumpulkan kepala wanita tak berdosa, menguliti wajah mereka lalu menjahitnya ke sebuah manekin tubuh yang bakal dihidupkannya kembali dengan mengorbankan Tarom. Semua demi menghidupkan kembali mendiang istri tercintanya. Apa mungkin, kalau Jabil mengunjungi sisi lain di pesarean Mbah Citro yang kerapkali dijadikan tempat pesugihan karisma pelaku seks komersial, dia akan menemukan jawabannya?

Apa pula yang mau dibangkitkan lagi oleh dalang sesat entah siapa ini?

Satu lagi tambahan pertanyaan di bagan Burning Question-nya. Sampai berapa korban mutilasi ini berjatuhan? Dia tak bisa menyingkirkan kemungkinan korban-korban berikutnya datang dari orang-orang yang dikenalnya, atau yang terdekat dengannya. Jabil tenggelam dalam pemikirannya. Benang-benang merah kasus ini masih belum mengurai dengan baik. Baru di tahap awal, tapi pertaruhannya sudah sangat besar.

Jabil terlonjak sampai berdiri saat ponselnya tiba-tiba bergetar. Jabil terlalu hening larut dalam kolam olah pikirnya sampai-sampai ponselnya yang senyap itu getarannya terasa seperti ada kereta api lewat satu meter darinya. Tertera kontak di layar, dari Yogo Keling.

"Yog?"

"Bil. Korban ketiga sudah jatuh."

"Hah, tenanan, Yog?"

"Cak Modin. Pakleknya Jarwo."

"Innalillahi!"

"Awakmu belum mau tidur, kan, Bil? Tak jemput, yo. Barengan ke sana."

"Sip, Yog."

Jabil terduduk. Lututnya terasa lemas. Dia mengepalkan tangan. Tatapan matanya jatuh pada salah satu daftar makam yang terbongkar. Mau tak mau dia harus mengunjungi Makam Mbah Citro lagi.

******

Tamiul memilih berkunjung ke Makam Mbah Gimbal di desa Mbeged. Makam itu sendiri yang belum dipagari garis polisi. Menjelang tengah malam tanpa penerangan memadai, Tamiul menyusuri lahan makam kecil itu dengan bertelanjang kaki. Tamiul mengusap-usap rotan bola takrawnya, merasakan aliran energi yang mendorong kakinya menemukan sesuatu yang tak semestinya berada di kuburan tersebut. Gundukan tanah tak karuan bentuknya sebagai akibat pembongkaran tak bertanggung jawab. Tamiul ingat, buyut Tarom disemayamkan di sini. Beliau yang sering disebut-sebut sebagai Mbah Gimbal, padahal bukan. Papan-papan nisan ditumpuk di samping posko tukang gali kubur yang sudah reyot. Di sana, tulang belulang penghuni makam sudah dikumpulkan di kantong-kantong terpisah.

"Yo, bisa, yo," Tamiul memutar bola takrawnya, lalu melemparkannya ke udara, membiarkannya terjun turun. Saat sudah sejangkauan tendangan, Tamiul menendangnya berputar. Bola itu melesat mengitari makam. Begitu cepatnya sampai menimbulkan ilusi kobaran api, selayaknya banaspati.

Desingan bola itu cukup keras. Tamiul mengangkat tangan ke udara, mengatur energi yang dikeluarkan oleh bola takrawnya. Beberapa saat kemudian, bola itu menggelinding ke tanah, berhenti pada cekungan tanah. Tamiul segera menengoknya.

Betul saja, sebutir telur bebek tergeletak mencurigakan di sana. Tamiul menyerap energi dari bola takrawnya dan memindaikannya ke telur asin itu. Saat dirasanya sudah netral, dia memungut telur asin itu, kemudian menyentil cangkangnya sampai pecah. Isi kental dari telur bebek itu mengalir keluar. Hitam legam. Baunya menyengat. Tamiul menyelupkan telunjuknya ke cairan hitam itu.

Kilasan penglihatan berkelebatan di matanya. Sosok bertudung hitam bertanduk kambing, tengah mengayunkan tongkat sabit ke arahnya. Tamiul mendelik waspada, lantas membanting tubuhnya ke belakang.

******

Jarwo menemui Jabil dan Yogo Keling di parkiran motor RSUD Bojonegoro. Yogo Keling memeluk Jarwo. "Piye kondisine Paklekmu, Wo?"

"Masih belum bangun. Baru selesai dibebat kakinya," kata Jarwo, mengantar Jabil dan Yogo ke depan ruang IGD. Beberapa saudara Jarwo ada di sana. Salah satunya menemani Cak Modin di dalam. Bapak dan Ibu Jarwo tidak tampak ikut.

"Sampean temani Paklek dulu, nggak usah ikut-ikutan penyelidikan dulu, yo," kata Jabil. "Biar aku sama Yogo ae yang lanjutkan."

Jarwo menoleh kiri kanan, gelisah. Dia mengajak Jabil dan Yogo Keling melipir.

"Ada apa, Wo?" tanya Yogo.

"Ini Kambing Tengkorak?" bisik Jarwo.

Yogo dan Jabil tukar pandang. Keduanya mengangguk. "Sejauh ini kita percayanya iya."

Jarwo mengepalkan tangan.

"Modus operandinya di jalur transportasi," kata Jabil. "Biar orang-orang yang nemu mikir korban habis dilindas sepur atau truk."

"Cokk tenan," geram Jarwo.

Yogo Keling merangkul Jarwo, menenangkannya. "Sing sabar yo, Wo. Kita pasti akan temukan dalangnya. Awakmu nanti kita kasih giliran buat lampiaskan kemarahan. Piye?"

Jarwo mengangguk, menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. "Bil. Mat Kambing, sama dua korban Kambing Tengkorak dirawat di sini."

"Ah, tepat. Aku bisa cari-cari tahu. Nyambi," kata Jabil.

"Sek yo," Yogo Keling melipir, kedapatan telepon dari Nur Samsina.

"Masih pada di IGD semua?" tanya Jabil ke Jarwo.

"Sudah di rawat inap. Kalau Mat Kambing masih di ICU."

Jabil menoleh ke sekitar, menilai situasi. Ini bukan jam besuk. "Yawis, malam ini aku nginep di sini."

Yogo Keling bergabung lagi, tampangnya gelisah. "Bil, sepurane, aku nggak bisa ngancani sampai pagi. Ibunya pacarku kena musibah. Aku mesti balik."

"Eh, kenapa-kenapa?" tanya Jarwo.

"Pulang dari pasar ada yang mau bacok pakai celurit, katanya."

"Waduh. Yawis, cepat pulang, temenin calon mertuamu," dorong Jabil.

"Bil, ini mungkin ada kaitannya sama Kambing Tengkorak. Kata Nur, Lek Narodo yang menggagalkan aksinya. Katanya, pelakunya bertanduk."

"Waduh, gawat ini."

Jarwo mendelik mendengar nama Lek Narodo disebut, lalu mundur perlahan.

KAMBING TENGKORAK - SERI SIDIK KLENIK #2 (Sekuel Karung Nyawa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang