Telungpuluh Songo

36 9 1
                                    


Selepas para pejabat desa pulang, kerumunan di luar menipis. Hanya orang-orang macam Lek Jaran dan Lek Ikro yang masih tinggal, bercengkerama sambil ngopi dan makan kacang. Mereka lesehan di atas tikar, menghadap kebun gelap. Lek Jani mengajak Tamiul, Jabil, dan Yogo ke cangkrukan bambu di bawah pohon mangga. Masih nyata di ingatan Jabil saat menemui Tarom Gawat yang lagi bercengkerama dengan penghuni pohon tersebut seperti teman mendengarkan curhat.

Yogo Keling merasakan bulu tengkuknya tegak. Dia menyapu pandang ke gelapnya kebun samping. Tamiul mendaratkan tangannya ke pundak Yogo Keling, meyakinkannya, "Aman, Yog. Nggak usah parno." Yogo Keling menelan ludah. Lolongan amuk siluman monyet dan cekikikan kuntilanak di makam Mbah Citro masih usil berdenging kecil di telinganya.

Tamiul juga menepuk pundak Jabil yang masih mendongak mengamati dahan pohon mangga. "Tenang, Bil, semenjak Tarom ngilang, temennya ngungsi ke pohon lain."

Ketiganya kini duduk aman di cangkrukan bambu, sementara Lek Jani mengambil bangku kayu lalu duduk di hadapan mereka. "Ul, bagaimana kamu tahu kalau ini Jago Arit?" tanya Lek Jani.

"Tadi kami bertiga habis sowan ke Makam Mbah Citro. Ketemu Siluman Monyet, mereka nyebut Arit. Aku kayak pernah denger, pas kuinget-inget, Mbahkung pernah cerita," jawab Tamiul.

Jabil penasaran, mencondongkan badan ke depan. "Jadi bagaimana ceritanya, Lek? Tadi Lek Jani bilang Jago Arit leluhurnya njenengan." Yogo Keling siap menyimak. Dia belum pernah mendengar nama itu. Nama Jago Arit masih kuat dia kaitkan dengan Kambing Tengkorak. Bisa jadi Jago Arit-lah manusia sesatnya, alias makhluk sesatnya.

"Kemampuan yang dimiliki Tarom," Lek Jani memulai. Dia menjeda sejenak, menguasai dirinya biar air mata tak tumpah. "Berasal dari ilmu yang ditempuh oleh buyut kami lima generasi sebelumnya. Padepokan Ki Supono," Lek Jani menunjuk ke Jabil dan Tamiul, "Jatmiko yang rintis."

"Jatmiko?" tanya Jabil.

"Iya, nama asli Jago Arit. Dia adalah jawara desa. Posisinya lebih tinggi daripada pejabat tinggi desa waktu itu. Dia adalah si kunci. Kian lama ilmu yang dimilikinya semakin tinggi. Para pejabat resah dengan tindak tanduknya mengempas musuh, meski dengan alasan keamanan. Jago Arit punya pusaka, bentuknya tongkat sabit..."

Yogo Keling membayangkan sosok malaikat kematian.

"Pusaka itu kabarnya dia peroleh dengan bertapa di gunung merapi selama satu sasi. Satu tahun. Pusaka ini termasuk dalam pusaka yang bila pemegangnya tidak sakti benar, akan jadi senjata makan tuan. Kehebatan Jago Arit tersohor sampai ke timur pulau Jawa. Banyak pendekar pilih tanding yang datang menantangnya, dan selalu berakhir takluk di kaki Jago Arit.

"Maka jangan heran, kalau kami, yang kena ciprat titisan ilmu seperti Tarom, tidak terlalu membangga-banggakan ilmu yang kami punya. Jago Arit di penghujung hidupnya, hidup dalam kecongkakan. Yang awalnya jadi jawara pelindung desa, dia justru jadi kunci kehancuran desa. Dia menjadi bahaya bagi dirinya sendiri dan orang lain.

"Jago Arit bersekutu dengan makhluk-makhluk gaib. Semua raja demit dari pesisir pulau Jawa, tunduk padanya. Mendekati akhir hayatnya, Jago Arit berhasil menguasai ajian Pancasona. Dia tak mungkin mati."

Lek Jani menuangkan teh tawar dan meminumnya.

"Tapi, bagaimana akhir hayatnya, Lek?" tanya Jabil.

"Senjata makan tuan. Karena sifat tak pernah puasnya, Jago Arit tak bisa mengendalikan lagi pusaka sabitnya. Pusaka sabitnya itu menuntut sifat yang bijaksana. Pusakanya mengkhianatinya dengan menyerahkan Jago Arit kepada para pejabat desa. Jago Arit dibekuk dari segala sisi. Dibawa dalam keadaan tak berdaya tak menyentuh tanah, lalu dipenggal bagian tubuhnya menjadi tujuh, lalu dikuburkan di tujuh tempat yang berbeda."

KAMBING TENGKORAK - SERI SIDIK KLENIK #2 (Sekuel Karung Nyawa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang