Sore-sore sekembalinya dari makam Mbah Gimbal, Jabil, Yogo dan Jarwo berlatih ilmu kanuragan di bawah asuhan Ki Gufron. Mereka belajar berolah napas, menjejak kuda-kuda yang mantab, pukulan dan tendangan dasar, teknik pola langkah, teknik arah delapan penjuru mata angin, tangkisan, kuncian, dan sebagainya. Dari menjelang Maghrib sampai bada Isya. Tentu disela dengan salat berjamaah di teras. Ada Lek Jaran dan Lek Iqro ikut serta. Karti Benguk sudah pulang diantar Lek Jani dengan dokar.
"Rutinlah datang ke sini tiap sore. Kita akan mantabkan latihan," instruksi Ki Gufron.
"Siap, Ki," jawab mereka serentak dalam sikap sila tegap.
Di samping mereka, Lek Jaran dan Lek Iqro sudah telentang kecapekan. Samar-samar salah satunya mendengkur. Ki Gufron geleng-geleng. Waktu di jam dinding dalam rumah sudah menunjukkan pukul sembilan malam.
"Jangan lupa, harus kuat iman. Wirid jangan putus. Ingat bahwa yang paling kuat di alam semesta ini hanyalah Yang Maha Pencipta. Tidak ada yang lain."
"Nggih, Ki," mereka bertiga angguk-angguk.
"Kalian terus waspada terhadap apa yang kalian lihat. Mata batin kalian sudah terbuka dan sewaktu-waktu bakal ada yang muncul, bukan dari kalangan manusia, mengganggu kalian. Aura kalian sudah berubah, mereka tentu akan mengendusnya. Terutama pihak yang menjadi pengikut leluhur keluarga ini.
"Eling lan waspada. Jangan takabur. Jangan jumawa. Kalian jalani hidup seolah kalian tak pernah tahu mata batin kalian telah dibuka. Jangan sengaja berekspektasi akan melihat mereka yang tak semestinya dilihat."
Ki Gufron menyerahkan lipatan bandana dan tasbih kepada mereka bertiga. "Gunakan tasbih ini setiap kali kalian wirid. Nanti saya akan bekali kalian dengan kalimat khusus penangkal untuk kalian rapalkan setiap habis salat. Kalian tidak bolong-bolong kan salatnya?"
Jarwo meringis, kemudian melempar tatapan ke dua temannya yang sama-sama meringis tertangkap basah.
Ki Gufron tersenyum simpul. "Mulai sekarang, kalian rajinkan salat. Baik yang wajib dan sunnah. Jangan lupa tahajud juga. Jaga terus wudhunya."
Masing-masing mereka mengamati bandana dan tasbih di pangkuan.
Lek Jani sudah kembali.
"Bagaimana si Karti Benguk?" tanya Ki Gufron.
"Aman, Pak. Nyampe rumah langsung beres-beres." Lek Jani geleng-geleng, menyeringai geli.
"Geger tenan!" celetuk Jarwo. Semua pun meledak tertawa. Termasuk Lek Jaran dan Lek Iqro yang terkaget dari tidurnya. Mereka tertawa sembari masih memejamkan mata.
Jabil melanjutkan mengamati bandana dan tasbih di tangannya. Ki Gufron menangkap tatapan gelisah Jabil.
"Besok kita akan belajar menangkis gangguan makhluk halus menggunakan bandana itu. Namanya, jurus Sabet Setan. Dulu Tarom suka memraktikkannya."
Jabil mendongak, ekspresinya diisi semangat. Dia mengangguk mantab.
"Yawis, sekarang kalian pulanglah. Istirahat. Jangan lupa bangun jam tiga buat tahajud, beri doa dan dukungan ke Tamiul di alam seberang."
"Nggih, Ki. Maturnuwun, Ki." Ketiganya salim cium tangan ke Ki Gufron, juga ke Lek Jani.
Mereka beranjak dari teras, lalu terhenti langkahnya. Tiga-tiganya sama-sama melihat barisan makhluk halus beraneka ragam tengah mengerubungi teras.
"Tidak usah takut. Mereka tidak akan mengganggu. Mereka teman-temannya Tarom dulu," kata Lek Jani.
Barisan makhluk halus itu membuka memberikan jalan bagi mereka bertiga lewat. "Nyuwun sewu," ucap Jarwo sopan. Yogo dan Jabil ikut agak membungkuk sopan melewati mereka. Terdengar riuh rendah makhluk-makhluk itu menjawab: Monggo.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAMBING TENGKORAK - SERI SIDIK KLENIK #2 (Sekuel Karung Nyawa)
HorrorDua tahun pasca kejadian pada kisah Karung Nyawa, kecamatan Purwosari bersiap menyaksikan kejadian mistis mengerikan kembali. Semua bermula dari kejadian nahas saat Mat Kambing menghantamkan kepalanya ke tiang basket sekolah sampai pecah. Peristiwa...