"Ini Setan Kapak masih sering muncul di jalan, nggak, Bil?" tanya Yogo, agak sempoyongan membawa motor membonceng Tamiul dan Jabil sekaligus melalui jalan terjal penuh kerikil dan batu-batu tanggung.
"Ya, mbuh. Kan aku dua tahun nggak pulang, Yog."
"Santai-santai," kata Tamiul.
Mesin motor Yogo tiba-tiba mati. Seratus meter lagi mereka mestinya sampai di rumah Karti Benguk. "Aduh, alamat buruk ini," Yogo menyuruh Jabil dan Tamiul turun segera. Aroma sangit keluar dari mesin motornya. Yogo Keling menoleh ke sekeliling, tepat di jalanan yang dikabarkan jadi tempat Setan Kapak muncul meneror warga dua tahun lalu.
Jabil mengusap tengkuknya, memandang berkeliling. Dua tahun lalu, dia lebih sering menghabiskan waktu di warnet ketimbang di rumahnya. Jalur ke rumah Karti Benguk dan ke rumahnya satu arah, dan Jabil seringkali menutup warnetnya mendekati tengah malam. Masih ingat di ingatannya saat Karti Benguk mencegatnya di tengah jalan ini. Karti Benguk mengejarnya dengan kaki dan tangan yang menekuk tak manusiawi. Jabil bergidik.
Tamiul mencengkeram bola takrawnya, memindai situasi. "Aman kok ini. Nggak ada tanda-tanda makhluk yang mengganggu. Ada sih, tapi nangkring saja di dahan pohon Kalitidu."
"Damput!" Yogo mengeluh. Selain karena motornya yang tak kunjung menyala setelah distarter kaki, juga karena perkataan Tamiul barusan. Bulu kuduk di leher dan lengan Yogo Keling berdiri tegak. "Jadi gimana ini?"
"Yawis, kita lanjut jalan kaki. Sedikit lagi nyampe," kata Jabil.
"Iyo, tinggal saja motormu di sini. Nggak ada yang minat juga."
"Biar dijagain sama dia, Yog," Jabil menunjuk dengan dagu, ke arah dahan pohon Kalitidu.
"Dampuuutt!" Yogo Keling mengunci stang motornya.
Ketiganya melanjutkan berjalan kaki.
Jabil memeluk tubuhnya. "Hawa-hawanya sebenarnya nggak enak sih ini."
"Nggak usah nambah-nambahi lah, Bil," tegur Yogo.
"Malam panjang ini nggak akan sia-sia. Kita sedikit lagi ke titik terang," kata Tamiul.
"Semoga ya," kata Yogo.
"Bismillah, Yog," tambah Jabil.
Beberapa kali dalam langkahnya, Yogo Keling menengok ke belakang. Selain mengecek kesejahteraan motornya dibalik semak-semak, dia memastikan tak ada penampakan yang tiba-tiba menyergap. Dulu Purnomo yang paling banter cerita soal pertemuannya dengan Setan Kapak. Entah itu benar atau tidak. Waktu Purnomo masih menjadi Dukun Gondrong, perkataannya sukar dipegang.
Rumah Karti Benguk masih suwung dan terbengkalai seperti dulu. Pintu reyot dengan engsel yang lepas dibiarkan begitu saja. Beberapa piring plastik dan besek bergeletakan di depan rumah. Atap sengnya sudah berkibar-kibar seperti bendera saja, menggantung hampir lepas dari rangka kayu atap. Jabil menaiki undakan batu bata rapuh menuju depan pintu.
"Aku nunggu di sini ae, ya," kata Yogo, enggan menyusul naik.
"Yah, nggak kedapatan serunya, dong, Yog," kata Tamiul.
Jabil menata keberaniannya. Tempaan dua tahun mondok di tempat Ki Supono berhasil menyingkirkan ketakutan yang berdekade terbangun soal kejanggalan Karti Benguk. Apalagi dia sudah berpengalaman. Kini, bersama Tamiul, bertemu orang tak stabil macam Karti Benguk, bukanlah momok. Jabil mengetuk pintu yang ditambal pakai seng. "Assalamualaikum!"
Tentu tak ada yang menyahut. Ini sebagai norma kesopanan yang diterapkan Jabil saja. Mau bagaimanapun, Karti Benguk tetap manusia. Masih bisa dianggap manusia.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAMBING TENGKORAK - SERI SIDIK KLENIK #2 (Sekuel Karung Nyawa)
HorrorDua tahun pasca kejadian pada kisah Karung Nyawa, kecamatan Purwosari bersiap menyaksikan kejadian mistis mengerikan kembali. Semua bermula dari kejadian nahas saat Mat Kambing menghantamkan kepalanya ke tiang basket sekolah sampai pecah. Peristiwa...