Patangpuluh Telu

35 7 0
                                    

Teriakan sunyi Rudi begitu menyiksa, panjang tak berujung. Seketika Rudi tergelincir dari kesadarannya. Di ambang batas antara nyata dan mimpi, Rudi bertemu sosok yang sama. Sosok itu menindihinya. Sabit mengayun ke udara, lalu.... SLASSHHH!

Rudi ketindihan dengan mata membelalak ngeri. Bahkan ketika ibunya bangun lantas terkejut dan berteriak panjang melihat genangan darah di lantai, Rudi masih belum pulih. Tubuhnya kaku.

Rentetan respon bergulir. Pihak rumah sakit segera memindahkan Rudi dan ibunya ke kamar lain. Pihak polisi datang bersama petugas koroner langsung mengamankan kamar itu dan mengangkut jasad Mat Kambing yang tercabik-cabik ke ruang otopsi. Kamar itu dipasangi garis polisi sekarang. Jarwo terperangah ngeri bersama kerumunan penghuni rumah sakit lain. "Geger tenan."

Jarwo mengecek keadaan Rudi. Temannya masih seperti orang ketindihan. Ibunya Rudi menelpon ustaz dekat rumah. Suaranya bergetar, Jarwo tak tega mendengarnya. Jarwo keluar sebentar untuk menelepon Jabil dan Yogo, menceritakan kronologi kejadian sesuai yang dia tahu. "Kalian cepetan ke sini!"

Jarwo bersama bapaknya mencoba membujuk bagian pengelola kamar untuk mengusahakan agar Rudi dipindahkan ke kamar Cak Modin. Dia mengaku kerabat Rudi agar sekalian bisa mengawasi. Permintaannya itu baru dikabulkan tengah hari saat Jabil dan Yogo Keling datang.

"Tamiul belum sadar?" tanya Jarwo. Jabil menggeleng.

"Makin ngeri, Wo," kata Yogo.

"Masih terbang?"

"Nempel di dinding," sebut Yogo. Jarwo terkesiap, lalu geleng-geleng.

"Geger tenan!"

Ketiganya masuk menengok Rudi. Mereka melihat ustaz masih membacakan ayat-ayat Quran sembari mengusap kening Rudi, lalu ke dadanya. Ibu Rudi duduk gelisah mengawasi. Ibunya Jarwo di sampingnya, menemani menenangkan. "Kita di luar saja," ajak Jabil.

Di depan kamar, Jabil menengok ke lokasi kejadian pembunuhan. Awak media mengerumuni tempat itu. Polisi masih lalu lalang di sana mengamankan tempat. Direktur Rumah Sakit turun tangan untuk memberi pernyataan ke awak media.

"Mau ke sana, Bil?" tanya Yogo. Jabil menggeleng.

"Kan penyelidikan kita jalur klenik, Yog."

"Barangkali ada petunjuk gitu."

Jabil sangsi.

"Kenapa Mat Kambing yo?" Jarwo bertanya-tanya. Ketiganya kini sama-sama menatap kerumunan awak media.

Jabil menjentikkan jari. "Persis. Aku juga punya pertanyaan yang sama. Dari semua korban, Mat Kambing saja yang nggak dimutilasi."

"Ulah Bos Cina?" sebut Yogo Keling. "Karena sayembaranya nggak ada yang ikut, terus Mat Kambing nggak berhasil ngasih kambing etawa bertanduk unik?"

"Kejauhan sepertinya. Tapi, kita coba tampung dulu kemungkinannya."

"Waktu itu kan, Bos Cina ke sini, Bil," kata Jarwo.

"Motifnya kurang sih, Wo. Aku nggak lihat ada kemungkinan ke sana dari sisi Bos Cina. Toh dia bisa nyari suplier kambing yang lain. Lagian dulu kita pernah nuduh dia sebagai Toklu, tapi nggak terbukti."

"Mat Kambing yang bikin aku mulai penasaran sama Kambing Tengkorak ini. Nggak mungkin dia nggak ada kaitannya," jelas Yogo.

Jarwo geleng-geleng, teringat kepala penyok Mat Kambing yang terkapar di lapangan.

"Setuju. Dia ada kaitannya sama kasus ini. Bisa jadi dia dibisiki Jago Arit waktu mbenturin kepalanya ke tiang basket."

"Pertanyaannya, kenapa Mat Kambing?" Jarwo menatap sedih ke kamar yang dipasangi garis polisi itu. "Dia udah lempeng jalanin hidup, kok dikasih musibah kayak gini. Duh biyung."

Yogo Keling bersedekap, tatapannya mengawang ke kerumunan itu.

"Pertanyaannya...." Jabil terhenti, mengumpulkan kembali keping-keping petunjuk dalam benaknya. Semakin kusut.

"Pertanyaannya..." Yogo meneruskan, "...apakah tengkorak kambing yang dipakai Kambing Tengkorak sebenernya dari kambing etawa yang disetorkan Mat Kambing ke Bos Cina?"

Jabil terperangah. "Ah! Betul juga! Itu kaitannya."

"Bos Cina udah sempet moto nggak ya?" Jarwo membuka hapenya, mencari kontak seseorang.

"Ada yang bisa dimintai bantuan?" tanya Jabil.

Jarwo mengangkat bahu. "Terpaksa, urusan kayak gini Lek Narodo yang bisa."

"Bentar, kan dia kita curigai," kata Yogo.

Jabil menepuk bahu Yogo. "Selama bisa membantu, bisa kita manfaatkan." Jabil ke Jarwo. "Tapi, Wo, yakin? Nanti tambah minta macem-macem, piye?"

"Wis nggak usah dipikir." Jarwo mengetik pesan ke Lek Narodo.

"Oh, bisa make hape juga ternyata Lek Narodo. Tak pikir kuno," kata Jabil. Jarwo terkekeh.

"Tua-tua modern. Tenang, hapenya juga masih batang kok. Katanya pernah lupa dikira sabun."

"Tua-tua bikin susah, yo." Jabil ikut tertawa. "Ohiyo, aku belum sempet cerita ke Tamiul buat ngasih pelajaran Lek Narodo. Sepurane yo."

"Yo untung ae belum." Hape Jarwo bergetar. Pesan masuk. "Oh ini udah dijawab. Nanti malem mau ke sini katanya."

"Sip sip."

"Cuma, Bil, masalahnya satu," kata Yogo. "Nggak ada yang tahu betul bentukan tanduk Kambing Tengkorak."

"Ah iyo. Awakmu waktu ngelihat itu, juga kurang jelas?"

Yogo Keling menggeleng. "Kejadiannya secepat kilat, Bil. Habis itu cuma kebayang-bayang tok."

Jabil angguk-angguk. "Itu dia masalahnya."

Ketiganya bersandar ke tembok, buntu. Sama-sama mendongak ke langit-langit. "Geger tenan, cuk," keluh Jarwo. "Aku tak tetep laksanakan rencanaku yo. Ya buat bantu-bantu petunjuk ae."

"Sip, suwun yo, Wo."

Jabil mengacungkan jempol.

Ketiganya kembali ke ambang pintu kamar rawat. Rudi masih belum ada tanda-tanda pulih. Ustaz masih terus membacakan ayat-ayat rukyah. "Kayaknya cuma Nyarmini yang bisa bikin Rudi bangun," kata Jarwo.

"Kasian Nyarmini, dikekang bapaknya," komentar Yogo.

Jabil berdecak, lalu tenggelam dalam pikirannya sejenak. Situasi sudah semakin genting. Kambing Tengkorak alias Jago Arit tengah menjalankan operasi tutup mulut para korbannya. Keselamatan Cak Modin dan Rudi di ujung tanduk. Maut bisa datang kapan saja. Ini pertaruhan besar buat Jabil. Dia merasa bertanggung jawab. "Yog, awakmu minat belajar silat kanuragan?"

Yogo Keling menoleh cepat. "Hah? Awakmu yang ngajari?"

Jabil mengangguk. "Jarwo katanya juga pernah belajar silat?"

Jarwo meringis. "Cuma seminggu tok ikut padepokan dulu. Nggak kuat aku, Bil."

"Sebenere aku ya juga masih belum jago. Tapi seenggaknya, bisa buat bekal, kalau-kalau kita bakal ngehadepin Jago Arit langsung."

Yogo Keling berdiri bulu kuduknya. Napasnya pendek-pendek. Bahaya terasa semakin dekat mengintai. Yogo menoleh ke arah kerumunan awak media yang perlahan bubar.

"Nyambi kita terus nyelidikin kasus ini, kita mesti minta tolong ke kiai-kiai atau ustaz buat jagain Rudi sama Cak Modin," kata Jabil.

"Nanti aku beritahu ibuku, biar dia yang minta tolong."

"Oke, bagus. Sekarang..." ponsel Jabil bergetar. Telepon dari Purnomo. "Opo, Pur?"

Suara Purnomo di seberang terburu-buru.

"Hah? Beneran ini?"

"Iyoo, cepetan! Darurat!"

Telepon ditutup. Jabil menatap Yogo dan Jarwo.

"Ada apa, Bil?"

"Tamiul sudah sadar. Minta kita ke rumah Ki Gufron."

Jarwo mendorong kedua temannya. "Yawis, ndang gageh kono!"

Jabil menarik Jarwo. "Awakmu juga ikut, Wo."

KAMBING TENGKORAK - SERI SIDIK KLENIK #2 (Sekuel Karung Nyawa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang