Hari ini waktunya Ibu pulang ke kampung. Beberapa hari di rumah kos anaknya, Arya menjadi dekat dengan wanita paruh baya itu. Sikap lemah lembut dan sabar yang wanita itu tunjukkan membuat Arya merasa nyaman. Ibu mengajari Arya melakukan pekerjaan rumah yang sederhana. Memberitahu tentang banyak hal, terutama soal Radi. Barangkali karena mereka tinggal satu atap, Ibu berinisiatif pelan-pelan bercerita tentang kebiasaan Radi. Jangan sampai mereka bertengkar karena tidak memahami satu sama lain.
"Ibu pulang ya Di, hati-hati di sini, jangan suka keluyuran malam," kata Ibu saat Radi mengantar wanita setengah baya itu ke stasiun kereta.
Radi yang berdiri depan ibunya mengangguk. "Iya Bu, siapa juga yang suka keluyuran malam."
"Oh, iya kamu jangan sibuk sendiri terus dong Radi, sesekali ajak Arya jalan-jalan. Kasihan dia, di dalam rumah terus. Kamu sibuk sendiri," ujar Ibu mengingatkan. Teringat akan cerita Arya, pemuda itu keluar rumah hanya ketika sekolah. Arya tidak bisa ke mana-mana. Tidak punya uang untuk pergi ke luar.
"Bu, aku sibuk kuliah. Sore aku kerja di Cafe sampai malam. Ibu tahu itu. Jadi aku mana punya waktu luang."
"Diusahakan Radi, terus uang jajan dia tambahin, kamu jangan pelit sama Arya." Ibu sibuk merogoh tas tangannya, tak lama wanita itu mengeluarkan dompet kecil dari dalam tas. Mengambil beberapa lembar uang lima puluh ribuan. "Ini, ibu masih punya simpanan, ambil." Mengulurkan sejumlah uang itu ke Radi.
"Gak usah Bu, uangku masih ada kok," tolak Radi.
"Ini bukan buat kamu, ini buat Arya. Tadi mau Ibu kasih sendiri, tapi dia pasti gak mau. Ini kamu simpan."
"Gak usah Bu, Arya biar aku yang mikirin. Uang ini buat adik-adik aja di rumah," tolak Radi lagi. Di kampung masih ada dua adiknya yang masih sekolah, mereka pasti butuh uang juga. Tak tega rasanya membiarkan orangtunya harus menanggung sesuatu yang sudah menjadi tanggung jawabnya.
"Radi!" Sentak Ibu, tapi tidak terlalu keras. "Ambil ini, berikan pada Arya, ajak dia jalan-jalan, pergi ke mana dia mau. Dia butuh hiburan. Kasihan anak orang Radi!" Kali ini Ibu benar-benar memaksa. Wanita itu menjejalkan dengan paksa uang itu ke saku putranya.
"Luangkan waktu untuk Arya, ajak dia bicara. Kamu gak lihat dia terlihat kesepian sekali."
"Ibu baru tiga hari bareng Arya kok sudah paham banget gimana dia."
"Karena ibu sering ngajak Arya ngobrol. Dia sebenarnya anak baik. Kasihan dia, Radi. Dia pasti rindu orangtuanya. Ibu bisa melihat dari sorot matanya.
Radi terdiam. Jika diingat-ingat selama Arya tinggal bersamanya, orangtua remaja itu tak pernah datang berkunjung melihat keadaan anaknya. Hanya sekali mengirim pesan singkat. Setelah itu tak pernah ada kabar lagi. Dan apa yang Ibu katakan barusan ada benarnya juga. Selama ini ia terlalu sibuk dengan kuliah dan kerja paruh waktu. Terlalu sibuk memikirkan cukupkah uangnya untuk biaya hidup? Sampai-sampai ia tak pernah bertanya pada Arya, bagaimana hari-harinya di rumah seorang diri? Tak pernah bertanya dia mau apa? Tak pernah bertanya apa dia rindu orangtuanya?
"Radi!" Ibu menepuk pelan bahu anak laki-lakinya. "Diajak ngomong malah melamun!"
Radi mengerjap. "Iya Bu ...."
"Iya apa?"
"Iya, nanti aku akan lebih memperhatikan Arya."
"Nah, gitu. Ya sudah Ibu pulang," ujar Ibu bersamaan dengan kereta yang datang dan perlahan berhenti. Wanita sederhana itu lantas bersiap, meraih tas kecil berisi pakaian miliknya.
"Hati-hati Bu," kata Radi sebelum ibunya masuk ke dalam kereta bersamaan dengan penumpang yang lain.
"Iya, kamu juga," sahut Ibu sambil tersenyum dan melambaikan tangan. Tak lama pintu kereta tertutup.

KAMU SEDANG MEMBACA
SAJAN
Narrativa generaleHidup Radi yang mulanya lurus-lurus saja tiba-tiba berubah 180 derajat. Semua berawal saat dia terpaksa menikah kontrak dengan Arya. Remaja pembangkang, dan kasar. Hari-hari tenang Radi berubah menjadi runyam ketika dia harus mengayomi dan menafkah...