jangan dekat-dekat dia

2.5K 276 24
                                    

Radi menjalani rutinitasnya seperti biasa. Bangun pagi, menyiapkan sarapan lalu mengantar Arya berangkat sekolah. Yang berbeda adalah, komunikasi antara dirinya dan Arya. Sejak malam itu, sejak Arya menangis, menumpahkan kekecewaan karena sang papa di dadanya yang bidang. Hubungan mereka jauh lebih baik dari sebelumnya. Wajah ketus yang selalu Arya tunjukkan pada Radi tiba-tiba lenyap begitu saja. Arya tak lagi irit bicara. Jika membutuhkan sesuatu, remaja itu tidak sungkan meminta tolong pada Radi secara langsung.

"Radi! Tolong ambilkan handuk. Aku lupa!"

"Radi! Aku mau makan buah!

"Radi! Aku minta uang saku lebih!

"Radi! Seragamku belum disetrika!

Dan masih banyak lagi panggilan darurat setiap harinya. Namun, hal itu sama sekali tidak mengganggu Radi. Ia tidak keberatan Arya kerap kali memanggil namanya jika membutuhkan sesuatu. Alih-alih merasa diperbudak, Radi justru merasa sangat dibutuhkan oleh remaja itu. Entah, Radi juga tidak mengerti mengapa dia bisa merasa seperti itu. Jika dua temannya tahu akan hal ini, mereka pasti menertawakannya. Apalagi si Roni. Cowok satu itu paling anti disuruh-suruh, tapi menyuruh orang lain adalah kebiasaannya. Dan Adi- lah yang kerap menjadi korbannya. Tentang dua sahabatnya itu, mereka sekarang menjadi sepasang kekasih fenomenal di kampus. Deretan para gadis yang mendambakan Roni mundur teratur. Sang Casanova ternyata gay. Tidak masalah! Roni bisa menerima itu, yang terpenting adalah nyawanya selamat. Radi bisa memahami kegilaan Roni, karena ia sendiri pun punya kasus serupa. Ia rela kawin kontrak dengan Arya, demi terbebas dari tuntutan tujuh ratus juta.

Arya duduk seorang diri di meja dekat pintu masuk Cafe tempat Radi kerja paruh waktu. Ya, sore tadi Arya memaksa ikut ke tempat kerja pria itu. Karena Arya terus memaksa, Radi akhirnya mengizinkan, tapi dengan satu syarat. Remaja itu harus membawa buku-buku pelajarannya. Dan Arya menurut. Ia duduk dengan tenang di temani secangkir capuccino latte di atas meja. Sesekali memandangi Radi yang tampak sibuk mondar-mandir melayani para pengunjung.

Arya menghentikan gerakan tangannya menulis, tatapannya terpahat pada Radi yang terlihat menawan dengan balutan seragam Cafe. Kemeja lengan panjang putih digulung hingga batas siku dipadukan dengan celana panjang di atas mata kaki (ankle pants) serta dilengkapi celemek barista warna hitam dari pinggang ke bawah. Begitu saja Radi sudah menarik banyak perhatian pengunjung. Terutama para kaum hawa. Lihat saja, di meja bagian tengah itu, sekelompok gadis terlihat genit menggoda Radi ketika pria itu mengantarkan pesanan mereka.

Tanpa disadari Arya mengelus-elus cincin dijari manisnya, bibir ranumnya menyunggingkan senyum. Senyum sinis yang ia tujukan pada para gadis genit itu, walau mereka tak melihat ke arahnya.

"Dasar gadis-gadis genit tidak tahu diri! Lihat cincin dijarinya itu! Dia sudah menikah!" gerutu Arya kesal. Rasanya ingin marah melihat Radi terlalu mengumbar senyum pada setiap pelanggan Cafe yang datang.

Radi sekali lagi mengulas senyum ramah lalu kembali ke belakang.

"Radi!"

Mendengar suara panggilan itu Radi menoleh.

"Iya, Mas Theo!" sahut Radi lalu bergegas mendekati pria yang memanggilnya.

"Ada apa Mas?" tanya Radi setelah berdiri tepat di hadapan Theo, si pemilik Cafe.

Theo menyentuh bahu Radi lunak, lalu memutar tubuh pemuda itu ke arah meja tempat Arya duduk.

"Kamu kenal dia? Dari tadi aku perhatikan, dia terus meratiin kamu."

"Oh, dia Arya Mas, maaf kalo ganggu, aku sengaja bawa dia ke sini karena di rumah gak ada teman," jawab Radi salah tingkah. Mengusap-usap tengkuk tuk hilangkan rasa canggung.

SAJANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang