Sakit

3.2K 309 5
                                    

Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya Radi bersiap-siap untuk segera pulang.

"Radi!" panggil salah seorang pria saat Radi hendak meninggalkan Cafe.

Radi berhenti melangkah. Pemuda itu memutar tubuhnya menghadap ke seorang pria berjalan mendekat ke arahnya.

"Sudah mau balik?"

"Iya, semua sudah aku bereskan bareng yang lain tadi."

"Good," kata pria itu sambil mengangguk puas. Matanya mengedar ke sekeliling Cafe miliknya.

Sambil tersenyum pria itu mengulurkan sebuah amplop putih ke depan Radi.

"Ini gaji kamu bulan ini. Terima kasih ya, sejak kamu kerja di sini Cafe makin rame, jadi aku lebihkan dikit gajimu."

"Wah, terima kasih banyak Mas. " Radi menerima amplop putih itu dengan wajah berseri-seri.

"Ini sudah dipotong sama kasbon-ku belum Mas?"

"Sudah Di, bulan depan kamu bisa gajian full."

"Sekali lagi terima kasih Mas Theo."

Pemilik Cafe yang bernama Theo itu tersenyum lalu menepuk pelan bahu Radi. "Semangat terus, Di, kerjanya. Besok kamu bisa libur, siapa tahu mau jalan sama calonmu."

Radi tertawa kecil. "Mana ada calon Mas," Radi tersipu malu.

"Ah, yang benar, terus itu cincin apa?" Menunjuk cincin yang melingkar di jari Radi dengan dagu.

"Oh, ini ...." Radi meraba cincinnya dan tersenyum. "Ini bukan apa-apa sih Mas," jelasnya malu-malu. Dia sendiri heran, kenapa rasanya takut sekali setiap ingin melepas cincin itu. Ingat pesan dari pria kaya itu—tidak boleh melepas cincin itu sebelum pernikahan kontrak berakhir.

"Ya sudah, kamu bisa pulang sekarang. Hati-hati ya Di," kata si pemilik Cafe. Pria itu menepuk bahu Radi sekilas lalu beranjak pergi.

Radi keluar dari Cafe. Berjalan ke tempat parkir. Pemuda itu berdiri sejenak di samping motor, mengintip berapa jumlah isi dalam amplop. Tak lama bibir Radi melengkung membentuk garis senyuman. Wajahnya tampak senang sekali. Sepertinya Radi mendapat insentif yang lumayan dari si pemilik Cafe.

Malam ini Radi pulang dengan perasaan gembira. Di sepanjang jalan pria itu bersiul, bersenandung lagu kesukaannya. Satu hal yang ingin Radi lakukan ketika dia sudah mendapatkan gaji pertamanya. Radi berencana mengajak Arya makan di restoran yang enak. Tak hanya itu, esok pagi dia berencana menambah uang saku Arya.

Tiba di depan halaman tempat tinggalnya, Radi mematikan mesin motor dan bergegas turun. Seperti biasa, pria itu mendorong masuk motornya perlahan. Sebisa mungkin tidak menimbulkan suara berisik. Akan tetapi ketika Radi membuka pintu hendak mendorong masuk motornya tiba-tiba Arya keluar dari kamar dan berlari ke belakang sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan.

Radi cepat-cepat menstandarkan motornya lantas menyusul Arya ke belakang.

"Arya kamu kenapa?" Radi berdiri di ambang pintu kamar mandi dengan panik melihat Arya muntah-muntah.

Radi terpaksa masuk ke kamar mandi, memegang lunak bahu Arya dan menyangga tubuh remaja itu. Ia juga memijat pelan tengkuk Arya untuk memberi rasa nyaman.

"Kamu makan apa tadi siang? Apa kamu sakit?" Terlukis jelas rasa khawatir di wajah Radi.

Arya menggeleng lemah, perlahan menegakkan tubuhnya.

"Gak apa-apa, aku gak apa-apa." Mendorong lemah tubuh Radi menjauh darinya, lalu perlahan berjalan terhuyung keluar.

Radi bergegas menyusul. Dengan sigap menangkap Arya ketika remaja itu hampir jatuh. Dipapahnya Arya ke ruang tamu.

SAJANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang