Sambil menunggu pergantian jam mata kuliah Radi dan kedua temannya duduk-duduk santai di salah satu gazebo taman kampus. Taman yang letaknya di tengah gedung itu tidak hanya indah ditumbuhi bunga warna-warni, tapi juga ada beberapa pohon yang rindang. Gemercik suara kolam ikan menambah suasana taman kampus terasa sejuk dan tenang. Membuat para mahasiswa universitas Bima Sakti betah berlama-lama duduk menghabiskan waktu sambil menunggu jam kuliah. Begitu juga dengan Radi dan dua sahabatnya.
Adi duduk di depan Radi. Di sebelahnya ada Roni, perhatian cowok berdarah campuran itu sedang berpusat pada layar ponsel. Jarinya bergerak lincah, mulutnya berteriak-teriak tidak jelas. Gemas dengan game yang sedang ia mainkan.
"Gimana kabar Arya? Sudah sehat?" tanya Adi pada Radi yang duduk di depannya.
Radi yang saat itu sedang menulis sesuatu di buku tugas, menghentikan gerakan tangannya. Pemuda itu mendongak, melihat pada Adi.
"Iya, sudah sehat. Sudah seperti biasa," jawab Radi lalu kembali mencatat.
"Syukurlah, lo harus lebih sabar sama Arya. Gue lihat dia sebenarnya anak baik. Ya, meskipun sikapnya cenderung dingin, anggap aja dia adik yang harus lo jaga."
Radi berhenti menulis, ia mengangkat wajah dan menatap Adi sejenak. Berbeda dengan Roni yang sering mengejek Radi tentang pernikahan kontraknya dengan Arya. Adi lebih bisa memahami posisi Radi. Hanya di awal-awal saja Adi menertawakan, sekarang Adi malah jadi sering mengingatkan jika itu soal Arya. Barangkali karena mereka berdua sama-sama berasal dari keluarga sederhana jadi Adi mengerti apapun akan dilakukan agar bisa lolos dari jerat hutang 700 ratus juta. Termasuk menikah kontrak dengan seorang remaja. Laki-laki pula.
"Gue sudah berusaha menjaga dia, Di." Radi menutup buku tugas lalu ia masukkan ke dalam tas ranselnya. "Gue selalu berusaha membuat dia nyaman tinggal bareng gue. Pesan bapaknya selalu gue ingat."
"Pesan apa?" tanya Adi penasaran.
"Gue gak tahu bapaknya Arya dapat nomor HP gue dari mana, yang jelas orang itu pernah ngirim pesan ke gue, yang isinya nyuruh gue buat jaga Arya."
"Misterius banget bapaknya Arya," kata Adi sambil tersenyum geli.
Radi mengangkat bahu. "Kalau pun pria kaya itu gak ngirim pesan seperti itu, gue tetap bakal jaga Arya karena dia serumah bareng gue."
"Wajib sih, kan elo laki dia heheh," tukas Adi terkekeh geli.
"Sialan lo, Di!"
"Ya, benar kan! Biar pun menikah kontrak, tetap aja lo suami dia. Buktinya cincin kawin lo pakai terus." Adi menunjuk cincin di jari tangan Radi dengan dagunya.
"Ini salah satu syarat nikah kontrak itu, selama pernikahan kontrak itu belum berakhir, cincin ini gak boleh lepas dari jari gue." Radi menyodorkan cincin yang melingkar di jari manisnya ke depan wajah Adi yang duduk di seberangnya.
"Buktinya gue lihat Arya gak pakai cincin itu."
"Ya itu Arya. Dia anak pria kaya itu. Lah gue?" Menunjuk wajahnya sendiri. "Mana gue tahu kalau orang itu nyuruh mata-mata buat ngawasin gue. Buktinya nomor HP gue aja dia tahu!" seru Radi bersungut-sungut.
Adi manggut-manggut mengerti. "Iya juga sih, kalau gitu lo mesti waspada dan hati-hati. Lo harus jaga Arya, jangan sampai dia lecet sedikit pun. Eh, tapi ..." Adi menyipitkan mata. "Jadi semua yang lo lakukan buat Arya, karena takut sama orang kaya itu?"
Seharusnya Radi menjawab 'iya' dengan cepat, tapi ia malah tertegun untuk beberapa saat.
"Eum ... iya," jawabnya tak yakin.
Adi mengerutkan kening melihat gelagat aneh Radi saat menjawab pertanyaannya barusan. Seakan Radi itu ....
"Bangsat!!" pekik Roni tiba-tiba bersamaan dengan satu tangannya menggebrak meja gazebo dari bahan kayu sekuat tenaganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAJAN
General FictionHidup Radi yang mulanya lurus-lurus saja tiba-tiba berubah 180 derajat. Semua berawal saat dia terpaksa menikah kontrak dengan Arya. Remaja pembangkang, dan kasar. Hari-hari tenang Radi berubah menjadi runyam ketika dia harus mengayomi dan menafkah...