Terlalu menjiwai

2.6K 304 6
                                    

Menjelang siang hari akhirnya dokter mengizinkan Arya pulang. Kondisi remaja itu sudah membaik. Tidak muntah-muntah lagi, perutnya sudah tidak sakit lagi.

"Total semuanya satu juta seratus lima puluh ribu Pak," kata seorang petugas saat Radi hendak membayar tagihan rawat inap rumah sakit.

Radi berdiri tertegun sejenak. Menelan ludah. Mahal sekali, gumamnya dalam hati. Ia lantas merogoh dompet dari saku celana bagian belakang. Dikeluarkannya sejumlah uang sesuai dengan tagihan yang disodorkan ke arahnya. Sambil mendesah pasrah Radi mengulurkan uang satu juta seratus lima puluh ribu itu kepada petugas. Uang gaji yang baru dia terima semalam lenyap begitu saja. Hanya sisa beberapa lembar. Kepala Radi langsung pusing. Dengan sisa uang yang ada apakah akan cukup untuk kebutuhan satu bulan ke depan?

"Tanda tangan di sini dulu Pak," kata si petugas membuyarkan lamunan Radi.

Radi meraih pulpen yang di sediakan di atas meja kasir rumah sakit.

Selesai membayar tagihan Radi kembali ke ruangan di mana Arya dirawat. Sebelum masuk ia berdiri sejenak depan pintu, menarik napas dalam lalu ia embuskan perlahan. Dia harus bersikap normal, tidak boleh menunjukkan kesulitan apa pun di depan remaja itu.

Melihat kedatangan Radi, Arya langsung bangkit berdiri dari atas ranjang. "Sudah selesai?" tanya remaja itu dengan sorot mata berkilat senang. Arya ingin cepat-cepat pulang sudah tak tahan dengan bau rumah sakit.

Radi tersenyum lembut. "Iya, sudah. Ayo, kita pulang,” tukas Radi sembari mengemasi barang-barang mereka di atas nakas—semalam Radi kembali ke rumah untuk mengambil selimut dan keperluan lain.

Sebelum meninggalkan ruangan itu, Radi menyempatkan diri berpamitan pada pasien yang lain.

“Kami pulang dulu, Pak. Bu,” Radi menyalami beberapa orang di ruangan itu dengan senyum ramah. Arya yang berdiri di belakangnya mau tak mau mengikuti apa yang Radi lakukan.

“Wah senangnya sudah boleh pulang, jaga adikmu ya,” ujar wanita setengah baya yang sedang menunggu anaknya.

“Iya Bu,” jawab Radi seraya tersenyum lembut.

Selesai berpamitan Radi dan Arya meninggalkan ruangan.

Baru beberapa langkah keluar dari ruang inap, ponsel Radi bergetar. Pemuda itu merogoh ponselnya di saku celana bagian depan. Nama Roni terpampang pada layar ponsel.

"Halo, Ron." Radi menempelkan ponselnya ke telinga.

"Langsung ke rumah saja Ron, Arya sudah boleh pulang. Ini gue lagi mau keluar dari rumah sakit."

"Ya, oke."

Selesai bicara Radi menyimpan kembali ponselnya.

"Kamu ngasih tahu temanmu kalau aku dirawat?" tanya Arya yang berjalan di sisi Radi.

Radi menoleh, di saat yang sama Arya menoleh ke arahnya juga. Tatapan mata mereka bertemu. Arya langsung memutus tautan mata itu, kembali melihat depan, berjalan melewati lorong rumah sakit.

"Iya," jawab Radi pelan. "Gak masalah kan?" tanyanya memastikan.

Arya tidak menjawab. Jantungnya yang malang berdebar tidak karuan saat bertemu mata dengan Radi.

Dua puluh menit kemudian mereka sampai rumah. Di teras depan sudah ada Roni dan Adi. Dua pria itu duduk di bangku teras. Melihat kedatangan Radi, serentak mereka langsung bangkit berdiri.

"Sudah dari tadi?" tanya Radi setelah turun dari motor.

"Enggak, baru saja duduk di sini," sahut Adi sambil bergeser memberi jalan Radi.

SAJANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang