Dia baik

2.8K 328 9
                                    

Arya berdiri tertegun saat melihat siapa orang yang berdiri di teras depan. Ibu Radi. Wanita setengah baya itu tiba-tiba ada di depan pintu seorang diri. Di sebelah kakinya berjejer sekarung beras sepuluh kiloan, tas kecil dan satu kardus mie instan penuh sesak entah apa isinya diikat menggunakan tali rapiah.

"Arya ...." sapa wanita sederhana itu seraya tersenyum lebar.

Arya yang saat itu baru saja pulang sekolah jadi bingung harus bersikap, remaja itu tampak kikuk. Bibirnya bergerak-gerak hendak balas tersenyum.

Senyum canggung yang tampak dipaksakan akhirnya mengembang dari bibir tipisnya. "I-ibu kok di sini?" tanya Arya kaku.

Wanita setengah baya itu kembali mengulas senyum. “Kata Radi kamu sakit, makanya ibu langsung ke sini."

Mendengar jawaban itu Arya terdiam sejenak. Rasa hangat diam-diam merambati hatinya.

Perlahan tangannya bergerak, membuka pintu lebar-lebar. Mempersilahkan ibu Radi masuk ke dalam. Melihat barang bawaan yang lumayan banyak, tanpa diminta Arya berinisiatif mengangkat barang-barang itu ke dalam.

"Jadi sekarang bagaimana keadaanmu Arya, apa masih sakit?" tanya Ibu sembari berjalan ke ruang dapur.

Arya yang mengikuti di belakangnya menjawab, "Tidak, aku sudah sehat. Hanya salah makan saja." Arya lalu meletakkan karung beras yang dibawanya ke lantai dapur. Ia kemudian berjalan ke depan lagi, untuk mengambil sisa barang yang lain.

"Syukurlah kalau sudah sehat, ibu khawatir sekali waktu Radi mengabari Ibu kamu sakit," sambung wanita itu ketika Arya sudah kembali berada di dapur. Ditatapnya Arya lekat-lekat. Anak yang tampan dengan kulit yang halus. Semua ciri-ciri tuan muda yang rupawan ada pada diri Arya. Hanya satu yang kurang, tatapan matanya, ibu Radi bisa melihat ada kerinduan dari sorot mata Arya. Entah siapa yang dirindukannya, ibu Radi tidak tahu. Akan tetapi wanita itu bisa merasakan Arya sedang kesepian.

Arya menaruh kardus dan tas kecil ke lantai. Ibu kemudian mengangkat kardus itu ke atas meja dapur, dibukanya ikatan tali rapiah yang melilit di sekeliling kardus.

"Ibu bawakan kalian beras sepuluh kilo. Kalau hanya untuk kalian berdua, Ibu rasa bisa untuk dua Minggu," ujar ibu Radi sambil mengulas senyum.

Arya tak menyahut, remaja itu hanya berdiri termangu tak jauh dari wanita sederhana itu. Wajahnya sudah tak muda lagi, tampak kerutan halus di sudut matanya. Namun, sisa paras cantik ketika muda masih terlihat jelas. Meskipun sekarang ini hanya mengenakan pakaian sederhana dan nyaris tanpa make-up.

"Ibu bawakan lanting buat kamu, Arya. Rasanya gurih kamu pasti suka." Mengeluarkan tiga bungkus lanting kemasan 250 gram. "Ibu juga bawakan kalian ikan asap, belut asap, ada petai juga. Radi paling suka makan sama petai." Satu persatu ibu Radi mengeluarkan oleh-oleh yang dibawanya dari kampung. "Nanti ibu masak sayur santan ikan asap, kamu pasti suka Arya," imbuh wanita sederhana itu dengan antusias. Perjalanan jauh dari kampung ke Jakarta selama kurang lebih 8 jam naik kereta sama sekali tidak membuat wanita paruh baya itu terlihat lelah.

Arya berdiri mematung, tiba-tiba rasa hangat merayapi relung hatinya. Kapan terakhir hatinya terasa hangat seperti ini? Ah, dulu ... saat ibunya masih hidup. Dulu, ibunya juga seperti ini, jika dari bepergian pasti pulang membawa banyak oleh-oleh untuknya. Memasak makanan kesukaannya. Arya tak tahu pasti apa alasan ibu Radi tiba-tiba datang berkunjung. Benarkah hanya karena khawatir mendengar kabar tentangnya yang sakit? Atau ada alasan lain?

Apa pun itu yang pasti wanita setengah baya ini meluangkan waktu untuk menjenguknya. Jika hari itu ia membiarkan Radi memberi kabar orangtuanya, apakah papanya akan datang menjenguknya? Mengosongkan waktu untuk melihat keadaannya? Arya tak yakin akan itu. Karena sejak kepergian sang mama, ia juga kehilangan figur seorang papa.

SAJANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang