2. MU

251 6 0
                                    

"Ko ga diangkat sih, perasaan tadi masih online" Gerutu bunga yang sedari tadi menghubungi nomor abangnya namun nomornya tidak aktif.

"Masih di pesawat kali" Ucap Iren mencoba menenangkan sahabatnya.

"Harusnya sih udah mendarat ya pesawatnya" Ucap bunga kesal.

"Assalamu'alaikum"

Bunga dan Iren menoleh pada asal suara, bunga menghela nafas lega karena ternyata itu adalah abangnya. Sementara Iren hanya cengengesan tak jelas sambil memandang abang dari sahabatnya itu.

"Kemana aja sih? Gue telfonin ga diangkat-angkat" Gerutu bunga pada abangnya.

"Ga dijawab dulu salam nya?" Sindir banyu.

Bunga cengengesan, ia sampai lupa menjawab salam dari abangnya.
"Waalaikumsalam, lupa gue bang. Udah ayok balik" Ajak bunga pada abangnya.

"Tunggu, abang pulang ga sendirian. Ada temen abang yang ikut juga karena ada urusan kuliahnya" Ucap banyu.

"Mana temen lo?" Tanya bunga.

"Nah itu dia"

Bunga dan Iren menatap ke arah seseorang yang sepertinya abis membasuh wajahnya. Terlihat dari wajahnya yang begitu bersih dan bersinar. Sungguh, ciptaan mu tidak pernah gagal Tuhan -batin Iren.

Bunga melirik Iren yang tidak ada kedip-kedipnya menatap teman abangnya itu.

"Heh! Baru liat yang bening aja lo langsung ga kedip" Bunga menyenggol lengan Iren membuat Iren sadar dari kagumnya.

"Apaan sih, senggol-senggol mulu lo heran" Ucap Iren.

"Assalamu'alaikum"

"Waalaikumsalam, ini adek gue bunga, dan ini temennya namanya Iren" Banyu memperkenalkan adiknya dan Iren pada Zaid.

Kalian tau reaksi Iren?

"Kenalin, gue irene ravesya maharani, lo bisa panggil Iren. Mau panggil sayang juga boleh hehe" Iren mengulurkan tangannya di depan Zaid.

Bunga dan banyu menepuk jidat mereka, sungguh! Iren ini memang selalu membuat keduanya malu.

"Saya Zaid" Ucap Zaid tanpa menerima uluran tangan Iren.

Iren yang merasa diabaikan langsung menarik kembali tangannya.
"Cih, sombong banget. Kenalan sama cewek cantik kok malah sombong" Gerutu Iren yang kesal akan respon zaid.

Bunga hendak tertawa namun banyu menyenggol lengannya untuk tidak menertawakan Iren.

"Sudah ayo mending kita langsung pulang"

Semua mengangguk, banyu dan bunga lebih dulu masuk ke dalam mobil. Banyu yang mengemudi mobil, dan bunga duduk di sampingnya.

Sementara Zaid dan Iren duduk di kursi belakang.
"Nga, tukeran kek! Gue yang duduk di depan" Ucap Iren yang sangat ingin duduk dekat dengan banyu.

"Bunga!"

"Iye-iye bunga bangke, buruan kek tukeran"

"Ogah, gue masih sayang abang gue. Ntar yang ada kalo lo duduk di depan malah godain abang gue lagi" Ucap bunga ketus.

"Ya elah nga, mana ada gue godain bang banyu"

"Kalo ga khilap"lanjut Iren

"Udah lo anteng di belakang. Baik-baik"

Iren mendengus kesal. Bunga memang tidak pernah mengerti perasaannya, padahal kan Iren tidak ada niatan untuk godain banyu, bunga saja yang berfikir benar hahaha.

"Sekolah kamu lancar dek?" Tanya banyu pada bunga.

"Lancar, kenapa emang?" Tanya bunga balik.

"Kalo ada kendala apapun itu, jangan sungkan cerita ke abang ya. Papa masih ngirim uang ke kamu?"

"Ngga, papa udah ga pernah ngirim uang ke gue dari beberapa bulan yang lalu" Jawab bunga santai.

"Loh, terus selama ini kamu makan pake uang siapa?" Tanya banyu terkejut.

"Pake uang tabungan gue, tapi abis dalam waktu satu bulan doang. Sisanya ya gue pake uang Iren, soalnya cuma Iren yang bisa minjemin duit ke gue" Jawab bunga.

Banyu langsung melirik Iren lewat kaca yang ada di depan. Dan ternyata Iren juga sedang menatapnya lewat kaca itu. Dengan segera banyu mengalihkan pandangannya.

"Kadang gue juga numpang makan dirumah Iren, karna emang dirumah ga ada sama sekali bahan makanan yang bisa gue olah" Ucap bunga lagi.

"Maaf Iren jika bunga sudah merepotkanmu sekeluarga" Ucap banyu sedikit tak enak hati pada teman dari adiknya itu.

"Sans aja bang, lagian dirumah gue juga ga ada yang makan makanannya. Jadi gapapalah kalo bunga yang ngabisin, daripada mubazir" Ucap Iren dengan senyum merekah karena sebuah pertanyaan di lontarkan dari banyu untuknya.

"Loh, memangnya orang tua kamu dimana?"

Pertanyaan banyu membuat senyum Iren luntur. Pertanyaan ini sungguh sangat Iren hindari dari orang-orang. Apakah Iren harus menjawabnya? Atau ia tutupi? Sungguh bunga pun pernah menanyakan pertanyaan itu, Fahmi juga. Namun ekspresi Iren selalu membuat bunga dan Fahmi mengalihkan pembicaraan dan melupakan pertanyaan itu.

"Em, bang. Lo bawa duit kan?" Bunga berusaha untuk mengubah topik.

"Bawa, kenapa? Kamu mau beli sesuatu?" Tanya banyu.

"Iya, kayaknya kepengen beli itu deh makanan viral di tiktok. Makanan Korea gitu" Ucap bunga.

"Abang mana tau"

"Ish, ya udah nanti biar gue beli sendiri aja"

"Kita berenti di alfa depan ya?"Tawar banyu.

"Oke"

Iren bernafas lega, setidaknya ia tidak perlu menceritakan kisah kelamnya pada banyu bukan? Bunga memang kadang pengertian pada Iren.

Zaid yang sedari tadi hanya diam memperhatikan interaksi ketiga orang itu. Namun matanya tidak lepas dari perempuan di sampingnya, sepertinya ada sedikit yang membuat hatinya tergerak untuk melirik gadis itu. Jika tadinya Zaid biasa saja, namun saat melihat seperti ada sirat kesedihan di wajah gadis di sampingnya itu membuat Zaid sedikit penasaran.

Iren sadar, ia merasa ada yang memperhatikannya. Iren menoleh ke samping dan benar, mata Zaid dan Iren bertatapan. Cukup lama sampai Zaid memutuskan kontak matanya dengan Iren dan tak lupa berucap istighfar karena telah menatap wanita yang bukan mahrom nya.

"Astaghfirullah" Gumam Zaid.

Iren menyrengitkan keningnya, lelaki disampingnya ini membuat ia bingung.
"Emang muka gue kaya setan segala ngucap istighfar?" Gumam iren namun iren tak mengambil pusing.

****

Iren masuk kedalam rumahnya.
Sepi, ya itulah yang Iren rasakan setiap ia pulang ke rumah.
Tidak ada yang menyambutnya ketika pulang sekolah, tidak ada yang bertanya bagaimana Iren di sekolah, tidak ada yang bertanya apakah Iren sudah makan atau belum. Tidak ada! Iren merasa jika ia hidup sendiri. Meskipun di lantai dua sana ada papanya yang mungkin sibuk dengan pekerjaannya. Jika kalian bertanya dimana mamanya? Jawabannya di rumah sakit, lebih tepatnya dirumah sakit jiwa. Mamanya mengalami gangguan kejiwaan sejak 11 tahun yang lalu.

Iren tidak pernah menjenguk mamanya karena papanya melarang keras, jujur Iren begitu sangat merindukan mamanya. Iren sangat ingin mencoba mencari tahu dimana mamanya dirawat, namun papanya benar-benar menutup semua informasi yang berhubungan dengan mamanya.

Iren masuk ke dalam kamarnya, ia duduk di meja belajar dan matanya menangkap sebuah benda yang tergeletak di pintu balkon kamarnya.

Iren berjalan mendekati benda itu dan membawanya ke meja belajar.

"Buku?"

****

MAS USTADZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang