8. Namanya Fatimah

22 2 0
                                    

Lampu ruangan yang berwarna kuning, membuat tempat itu tampak redup, apalagi malam telah tiba. Berbeda dengan kota-kota metropolitan yang selalu punya aktivitas sepanjang hari tanpa henti, Desa Batutua sudah sangat sepi di jam seperti ini.

Setelah tadi berteriak sangat kuat, bahkan Ferdi pun bangun dengan kondisi mengenaskan karena terkejut, kini Narji, Ferdi, dan seorang gadis yang tadi mengintip dari luar jendela, duduk berhadapan di bangku panjang. Mereka saling menatap heran satu sama lain, masih merasakan sisa-sisa detak jantung akibat Narji mengira gadis itu hantu, begitu juga gadis itu mengira Narji adalah hantu.

"When was the last time we met yah, Fat?" Ferdi membuka suara setelah menghilangkan keterkejutannya melihat Fatimah-gadis yang kini duduk berhadapan dengan Narji dan Ferdi-tiba-tiba ada di tempat yang sama dengannya.

Fatimah berdeham sejenak, kemudian menjawab, "I've forgotten too. Obviously, we had met before."

"Gue nggak nyangka bisa ketemu lo lagi."

Fatimah tersenyum kikuk di depan dua pria itu. Kalau Ferdi, ia memang sudah mengenalnya sejak dulu. Ia kemudian memandang pria di samping Ferdi. Di bawah cahaya lampu yang redup, ia masih bisa lihat dengan jelas kalau pria itu mengenakan kacamata, dan menatap tajam padanya.

Sementara Narji yang sedari tadi berusaha menormalkan detak jantung dan bingung melihat interaksi Ferdi dengan gadis asing itu, akhirnya tak tahan hanya menjadi pendengar. Ia pun bersuara, "Hold on! Sebelum basa-basi dan melepas kangen, I wanna ask, who's this girl? Dateng malem-malem ke rumah orang, terus dengan lancangnya ngintip lewat jendela!"

"Oh, gue belum kenalin diri, yah!" Fatimah menggaruk belakang leher yang sebenarnya tidak gatal. "Nama gue Fatimah!" Ia mengulurkan tangan, meminta berkenalan dengan Narji.

"I don't need to know your name, right?" Bukannya membalas uluran tangan Fatimah, Narji melemparkan tatapan tajam dan jengkel ke gadis itu, karena ia masih sangat kesal atas kejadian tadi.

"Ini kok 'saya-kamu', yah, ngomongnya?" Gadis itu menyengir. "Kayak lagi ngomong sama bos, hehehe!"

Narji tidak menyahut.

"Iya sih lo nggak perlu tau nama gue. Orang gue sendiri yang pengen kenalan. Kapan lagi coba dapet kesempatan kenalan sama orang Jakarta, yah, 'kan?" Fatimah menampilkan cengirannya yang justru membuat Narji makin kesal.

Sementara Ferdi yang melihat sikap arogan Narji, hanya bisa menggeleng pelan. Ia pikir Narji akan bersikap lebih ramah jika tinggal di desa. Namun ternyata sikap pria itu tetap sama.

"Lo sendiri kenapa bisa ada di sini, Fat? Don't you live in Bandung?" tanya Ferdi.

"Kalo gue ceritain, bisa setebal Al-Qur'an. Jadi intinya, gue ada di sini, dan tinggal di sini untuk sementara."

Ferdi terkekeh, tak menyangka setelah beberapa tahun, sikap Fatimah tak pernah berubah.

"Why were you peeking in the window earlier? You scared us, you know?"

Fatimah tergelak, dan menjawab, "Abisnya gue ngucapin 'selamat malam' terus, nggak ada jawaban. Akhirnya gue ngintip deh, dengan harapan siapa tau ada orang. Eh, ternyata bukan orang yang nongol." Jawaban Fatimah barusan jelas menyindir Narji.

"Jadi maksud kamu, saya bukan orang? Saya setan, gitu?" tukas Narji.

"Ya, kalo lo ngerasa diri hantu, berarti lo emang hantu. Kalo nggak, berarti lo manusia."

"Saya manusia. Yang hantu itu kamu!"

"Udeh deh, Ji! Fatimah kan nggak sengaja. Lagian dia emang kayak gini. Jadi nggak usah diambil serius!" Ferdi menengahi adu mulut kecil antara Fatimah dan Narji. Ah, Fatimah yang blak-blakan dan aktif, bertemu dengan Narji yang arogan dan egois, cocoklah mereka kalau ada di meja pertarungan.

Mengukir Iktikad (Completed ✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang