Narji duduk tenang di sebuah kursi yang lagi-lagi terbuat dari batang kelapa. Bentuk kursi itu seperti guci terbalik. Ia memerhatikan bagaimana gadis mungil di depannya dengan gesit memotong wortel, kentang yang dipotong bentuk dadu, jagung manis, kol, batang bawang, dan seledri.
"Ini mau dibikin apa?"tanya pria itu.
"Sup. Lo makan?"
Narji mengangguk.
"Oh ya, boleh tolong masakin air di panci?"
"How much?"
"Ambil aja airnya. Nanti gue liat."
Narji segera menyiapkan panci dan mengambil air dari ember, air yang disiapkan khusus untuk minum dan memasak. "Segini cukup?"
"Kurangin dikit!" Fatimah memperhatikan Narji. "Enough!"
Sambil menunggu air mendidih, Fatimah menyiapkan berbagai bumbu. "Untung waktu itu kita udah belanja banyak. Jadi nggak perlu bolak-balik buat beli yang lain," katanya sambil menumis bawang putih yang sudah dicampur dengan merica. Ketika air mendidih, ia langsung memasukkan kentang, jagung, dan wortel.
"Usahain nggak makan mie terus-terusan. Lo kira rumah sakit deket? Kalo sampe sakit, gimana?"
"You're such a chatterbox!" Narji mengeluh pasrah mendengar omelan Fatimah sejak pertama kali gadis itu melihat beberapa bungkus Indomie yang ia beli di warung terdekat. Pikirannya kembali mengingat kejadian beberapa menit yang lalu di depan rumah.
"Ji, lo ngapain beli mi?"
"Buat makan, lah! Masa saya bagiin ke ternak!"
"Maksud gue, emang nggak ada makanan lain, apa?"
"Adanya ini doang!"
"Udah berapa lama lo makan mi?"
"Baru dua hari!"
"Ha?"
Tanpa pikir panjang, Fatimah merampas plastik itu, dan meminta Narji membuka pintu rumah. Dan di sinilah mereka berada setelah perdebatan singkat tadi.
Tak ambil pusing mendengar omelan Narji, Fatimah melanjutkan, "Dan lo dengan bangganya bilang kalo lo rutin makan Indomie selama dua hari!"
"Emang kenapa? Indomie kan paling praktis. Nggak perlu skill masak, langsung jadi."
"Bukan itu, Ji. Lo bayangin bahayanya makan ini tiap hari, deh. Banyak tuh anak kos mati karena keseringan makan ini. Gue nggak larang, yah. Tapi setidaknya lo mikir! Sayang diri lo sendiri!"
"Iya, iya ... dasar emak-emak!"
"What?!"
"Nope!"
"Gue dikasih kepercayaan sama Kak Ferdi buat jagain lo. Jadi gue mohon kerjasamanya. Jangan bikin masalah sama diri lo sendiri, karena gue juga akan kena akibatnya!"
"Iya, iya ...."
Perdebatan mereka memang sudah berakhir, tetapi Narji masih mendengar jelas suara Fatimah yang dari tadi mengomel. Dan penyebabnya sama, Narji makan mi instan selama dua hari.
Ia kini seperti seorang anak yang kepergok bolos sekolah dan dimarahi ibu. Kalau membantah, maka Fatimah punya seribu jurus untuk membalas. Memang calon emak-emak galak.
Tak lama kemudian, aroma sup mulai tercium, menggelitik indra penciumannya, hingga ia tak sabar untuk melahap habis sup buatan Fatimah. Kalau dari aromanya, seharusnya sup itu enak, yah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengukir Iktikad (Completed ✔️)
RomansaFAST UPDATE! #Rank_1_perempuan (02-06-2023) #Rank_2_diskriminasi (12-01-2023) #Rank_2_perempuan(31-05-2023) #Rank_2_patriarki (25-02-2023) Ketidakadilan, kata yang horror makna. Problematika sosial yang tak pernah usai di era "Perempuan diakui kebe...