April 2022 ....
Lagi-lagi macet. Bisakah permasalahan satu ini berakhir? Karena memang sangat menjengkelkan jika harus terjebak selama berjam-jam, padahal kondisi sangat mendesak. Itulah yang sedang Narji alami, bahkan hampir setiap hari kalau ia bangun kesiangan.
Kameja hitam polos di badannya hampir basah karena lengket, meskipun AC—Air Conditioner—menyala. Ia menengok ke depan, begitu banyak kendaraan yang menunggu giliran untuk melewati jalan terkutuk ini. Habis ini apa lagi? Macet setiap hari, polusi udara yang luar biasa, gerah, ah ... ternyata ini sudah menjadi bagian dari Ibu Kota. Awalnya mungkin terlihat menarik, mengingat Jakarta adalah kota besar dengan segala teknologi yang semakin berkembang. Lapisan kehidupan masyarakatpun menjadi transparan jika hidup di kota metropolitan yang satu ini.
Dari kejauhan, tampak beberapa pengamen berusia sekitar tujuh sampai 10 tahun tengah bernyanyi ria. Yang satu memetik gitar, yang satu membawa dus aqua sebagai tempat menampung uang.
Narji mengembuskan napas panjang, merasa bosan dengan situasi yang hampir setiap hari ia lihat. Diliriknya jam tangan yang hampir mengarah ke angka 1.
"Kelamaan nih!"rutuknya. Ia memang sedang tergesa, karena ada janji bertemu dengan client jam 2 nanti.
Ting!
Notifikasi whatsapp mengalihkan perhatiannya. Ternyata Dewi yang mengirim chat.
Dewi:
Yang, nanti jemput aku di butik, yah! Aku pengen jalan-jalan, nihNarji:
Nanti aja. Aku masih sibuk.Dewi:
Kamu mah gituNarji tidak membalas. Suasana hatinya sedang kacau karena sudah mengunggu hampir 30 menit, ditambah chat dari Dewi.
Ting!
Dewi:
SayangTak ingin diganggu, Narji memilih untuk menonaktifkan data seluler. Diliriknya lagi kendaraan di depan, yang ternyata mulai maju perlahan-lahan, dia pun mengikut.
Finally!
Perjalanan terus dilanjutkan, sampai akhirnya ia tiba di tempat tujuan, PT. Surya Jaya. Tanpa takut, tanpa ragu, Narji langsung masuk ke ruang CEO setelah berkirim pesan dengan sang CEO.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu, Pak?" Sherly, selaku sekertaris sang CEO, menyapa Narji dengan kikuk. Matanya agak terpana memandang sosok lelaki tinggi berkacamata dengan kulit kecokelatan.
"Saya Narji Prakoso."
"Oh, silakan masuk, Pak!" Sepertinya Pak Dodi, selaku CEO perusahaan, sudah memberitahu pada Sherly.
"Selamat siang, Pak Dodi!"sapa Narji.
"Selamat siang, Narji. Silakan duduk di sini!" Dodi, pria yang baru disapa Narji, langsung melepas gawai dan mengalihkan perhatian sepenuhnya pada pria muda di depannya, Narji Prakoso, pria berbakat yang baru saja menginjak usia 28 tahun. Dodi mengenal Narji dengan baik, karena dulu, ia dan Ayah Narji adalah teman semasa kuliah.
"Apakah kita langsung saja, Ji?"tanya Dodi dengan santai.
"Pilihan ada di tangan Bapak. Saya akan selalu setuju."
Dodi tersenyum simpul. Dalam usaha membangun gedung baru untuk mengembangkan bisnis propertinya, ia mempercayakan pembangunan gedung itu pada Narji, yang memang lulusan teknik sipil dan bekerja sebagai kontraktor sipil, dengan pekerjaan yang meliputi pembuatan jembatan, jalanan, pembangunan jalur kereta api, landasan pesawat, jalan bawah tanah, terowongan, bendungan, jaringan pengairan, dan saluran drainase, pembuatan pelabuhan, struktur bangunan gedung, konstruksi pabrik, tambang beserta perawatannya dan pekerjaan penghancuran bangunan. Meskipun banyak kenalannya yang memiliki profesi serupa, ia sengaja memilih Narji, karena tahu betul kemampuan lelaki berkacamata itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengukir Iktikad (Completed ✔️)
RomanceFAST UPDATE! #Rank_1_perempuan (02-06-2023) #Rank_2_diskriminasi (12-01-2023) #Rank_2_perempuan(31-05-2023) #Rank_2_patriarki (25-02-2023) Ketidakadilan, kata yang horror makna. Problematika sosial yang tak pernah usai di era "Perempuan diakui kebe...