19. Gugur

16 2 0
                                    

Baru saja matahari menampakkan sinarnya, bahkan dingin masih begitu menyergap, Narji sudah duduk manis di kursi dekat kasur Fatimah.
Di meja, sudah tertata rapi semangkuk udang saus dan sereal Jagung, yang kemarin sempat ia beli setelah mengantar pulang Fatimah. Tadi sebelum ke rumah, ia sudah menghubungi gadis itu terlebih dahulu.

"Kok nggak dimakan?" Tanya pria berkacamata itu, sembari melirik ke sepiring nasi yang belum disentuh.

"Masih kenyang, Ji. Kemarin kamu beliin aku banyak makanan."

"Trus?"

"Trus? Kamu kira perut aku belanga?"

"Kamu itu bukan kenyang, tapi emang nggak selera makan, 'kan? Kamu kira saya nggak tau penyebab kamu tepar? sok diet segala!"

"Aku nggak diet, yah!"

"Masih nyolot? Kamu kira hiponatremia penyebabnya apa? tau, nggak?"

"Mana aku tau penyakit hip hop itu?"

Kalau tidak sedang menjaga image, Narji pasti sudah tergelak mendengar sebutan 'hip hop' Fatimah. Bagaimana bisa hiponatremia menjadi hip hop?

"Ternyata pintar soal teknik, nggak menjamin kami pintar sama biologi. Berarti bener, kamu nggak lulus mata pelajaran itu!"

"Kan udah aku bilang, aku nggak besti-an aja sama biologi." Gadis itu menampakkan ekspresi layaknya orang yang merajuk.

"Udah jelek, merajuk lagi. Jadinya makin jelek!"

"Ihhhh!"

Narji tersenyum tipis, merasa telah berhasil menggoda Fatimah. Sejujurnya ia tak berniat mengatakan hal kejam seperti tadi, hanya saja ia tak ingin Fatimah berdiam diri sepanjang hari, seperti beberapa menit yang lalu. Dan ia merindukan momen adu mulut dengan gadis kecil itu.

"Cepet dimakan! Saya sengaja beliin udang sama sereal Jagung karna banyak nutrisinya, biar kamu nggak penyakitan lagi!"

Fatimah yakin semua hidangan yang tersedia sangat enak. Hanya saja, ia benar-benar tidak berselera. Entah apa yang terjadi, selama dua minggu ini ia kehilangan selera makan. Padahal sebelumnya, tanpa perlu ditawari lagi, ia pasti sudah melahap semua makanan di meja.

"Nggak selera, Ji."

"Makan!"

Akhirnya Narji berinisiatif mengambil lauk, dan menyodorkannya di depan Fatimah. "Kalo nggak makan, saya buang semuanya!"

"Ih jangan!" Fatimah langsung menyambar makanan yang diambil oleh Narji. Setelah memperhatikan makanannya cukup lama dengan sekujur tubuh bergidik ngeri, ia mulai menyuap pelan-pelan.

"Gimana?"

Fatimah mencicipi udang berkali-kali, sampai akhirnya ia menggeleng dan berkata, "Nggak kerasa apa-apa, Ji. Lidah aku rasanya pahit."

"Tapi harus tetep dimakan. Itu pasti efek obat."

Gadis itu kembali menelan beberapa suap, sambil berusaha menahan pedas dan mual.

"Huek!"

Narji bergegas mengambil ember yang kemarin digunakan untuk menampung muntahan Fatimah.

"Di sini aja muntahnya."

"Nggak papa. Aku paksa aja makannya."

"Nggak papa? Kamu masih bisa?"

Gadis itu mengangguk. Sebenarnya Narji tidak tega harus memaksanya makan. Namun ia juga tidak ingin kondisi Fatimah semakin buruk kalau tidak makan yang cukup sesuai anjuran dokter.

Mengukir Iktikad (Completed ✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang