13. Literasi

16 2 0
                                    

Apa yang terlintas di pikiran kalian ketika tanpa sengaja menemukan kata 'Literasi'? Sebagian orang menganggapnya sebagai kegiatan membaca. Ada juga yang mengatakan bahwa literasi sama dengan menulis. Sebenarnya tidak ada yang salah. Jadi untuk memperjelas, kita mengacu saja pada pengertian umumnya di KBBI—Kamus Besar Bahasa Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, literasi adalah kemampuan menulis dan membaca. Seperti makna dari literasi itu sendiri, maka itulah yang sedang diusahakan oleh Fatimah ketika pertama kali ia menyadari bahwa para anak di Desa Batutua tidak memiliki kesempatan untuk menikmati buku bacaan, belajar, sekolah, dan kegiatan edukasi lainnya. Selain karena keterbatasan fasilitas, sikap para orang tua yang acuh tak acuh terhadap perkembangan intelektual dan sikap anak, juga menjadi faktor utama tingkat pendidikan di sini berada di urutan paling bawah. Bahkan tak sedikit anak yang 'buta huruf'.

Fatimah sungguh prihatin melihat kondisi separah itu, sehingga ia dengan inisiatif tak terbantahkan, nekat membeli banyak sekali buku yang dipesan di official store Toga Mas, Jogjakarta, yang menjual buku dengan harga murah. Semua buku yang dijual di toko itu merupakan buku berdiskon antara 10 hingga 25 persen. Lumayan, bukan? Toko buku itu juga menjadi langganannya sejak kuliah, karena buku-buku di situ sangat lengkap.

Karena semangatnya bak api menyala-nyala, impian kecilnya pun terwujud, dengan tersedianya sebuah tempat membaca yang nyaman bagi semua kalangan, khusunya anak-anak. Meskipun untuk mewujudkan impian yang satu ini, Fatimah harus rela mendengar namanya terangkat layaknya artis viral yang tiba-tiba terkenal.

"Si Fitri udah lancar baca, tuh!" ucap Pudji pada Fatimah yang saat itu tengah sibuk memasak.

Gadis itu tersenyum bangga. "Aku seneng banget. Ngerasa jadi guru sukses. Ternyata gitu yah rasanya jadi guru yang berhasil ngajarin murid."

Pudji terkekeh, kemudian menatap takjub Fatimah. "Ini semua berkat kegigihan kamu, Fat!"

Malu juga dipuji seperti itu oleh Pudji. "Kamu juga, Kang. Kalo waktu itu kamu nggak bantuin aku, pasti tempat ini nggak bakalan ada."

Pudji tersenyum. "Aku cuma bantu seadanya. Sisanya, kamu semua yang usaha keras."

"Menurut Akang gitu, yah?"

"Iyalah, Fat." Pudji beralih memerhatikan kegiatan Fatimah. "Ini beneran nggak mau aku bantu?"

"Nggak perlu, Kang. Aku bisa sendiri. Mending Akang temenin anak-anak dulu, gih!"

"Hehehe ... si paling suka sibuk di dapur,"goda pria itu.

"Selamat siang!"

Sapaan dari luar menghentikan niat Pudji untuk lanjut mengobrol.

"Selamat siang!" Sapaan dari luar masih terdengar.

"Kang, tolong dibuka dulu yah pintunya!"

"Oke, Neng!"

Pudji bergegas ke ruang depan dan membuka pintu. Ia sempat membeku beberapa saat melihat seorang pria yang beberapa sentimeter lebih tinggi, dan mengenakan kacamata, berdiri di depan pintu.

"Selamat siang!"

"Iya, siang. Ada perlu apa, yah?"

"Ini rumahnya Fatimah?"

"Oh, iya. Mau ketemu Fatimah, Mas?"

Mas ... mes ... mas ... mes!

Narji berpikir sejenak. Ia sedikit terkejut sebenarnya melihat pria berkulit sawo matang itu tiba-tiba membuka pintu.

"Mas!"

Narji tersadar dari lamunannya. "Eh, iya. Saya ... boleh ketemu Fatimah, nggak?"

Pria di depannya menjawab, "Kebetulan Fatimah lagi masak, jadi masuk dulu, yuk!"

Mengukir Iktikad (Completed ✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang