Kenapa ia tak melihat ini kemarin? Apa karena terlalu lelah? Bahkan bagian samping dan depan rumah barunya saja ia tak tahu. Baru kali ini, ketika Fatimah dengan berbagai jurus, mampu memaksanya ikut ke pasar.
Narji baru sadar kalau rumahnya tidak dekat, tetapi tidak jauh juga dari rumah penduduk lainnya. Mungkin dengan jarak dua ratus meter ia bisa melihat rumah yang satu dan berlanjut ke rumah yang lain. Sementara pada jarak dua ratus meter itu, semua halaman dijadikan lahan bertani. Namun ada juga yang memanfaatkannya untuk menanam bunga. Berbeda dengan bagian samping dan belakang rumah yang masih bisa ditemui rumah lain, bagian depan rumah itu adalah hutan, tetapi tidak termasuk hutan lebat dan liar, karena pada bagian tertentu, terdapat banyak sekali pohon pinus yang menurut cerita Ferdi, itu adalah tanah milik seorang penduduk yang tempat tinggalnya berbatasan dengan jalan utama menuju ke kantor camat. Dan seperti yang Ferdi katakan juga, rumah yang ia sewa ternyata lebih baik dari pada beberapa rumah yang ia lewati.
"Selamat siang, Nak Fati, Nak Narji!" sapa Pak Aryo selaku kepala desa. "Ini pada mau kemana?"
"Kita mau ke pasar, Pak, mau beli kebutuhan dapur,"balas Fatimah ramah.
"Oh ... bagus-bagus. Sering-sering ajak Nak Narji jalan-jalan, biar dia makin kenal desa ini."
"Gampang, Pak, hehehe .... Ya udah, Pak, Fati sama Narji pamit dulu, yah!"
"Ya sudah, hati-hati!"
Fatimah dan Narji pamit dan melanjutkan perjalanan mereka.
"Ini kita sampainya lama, yah?"
"Nggak lama, kok. Cuma beberapa kilometer."
"What the hell?!"
Fatimah terkejut, matanya berkedip beberapa kali sambil menatap mata Narji yang dilindungi kacamata.
"Beberapa kilometer kamu bilang cuma?"
"Itu deket, kok. Nggak lama lagi kita nyampe."
"Come on, Fat!"
"Just give it a shot!"
"Tapi ...." Narji jadi serba salah.
"Uhm ... kalo gitu kita sewa motor aja. Kayaknya ini pertama kalinya lo jalan jauh, yah?"
Narji tak menjawab, pertanda Fatimah benar. "Oke, kita sewa motor aja sama Mak Tari."
"Rumahnya di mana?"
"Itu!" Fatimah menunjuk ke sebuah rumah yang dari luarnya hampir sama dengan rumah yang disewa Narji. "Ayo!" Ia menarik tangan Narji agar cepat sampai ke rumah yang dimaksud.
"Nggak usah pegang-pegang!"
Fatimah menyengir, dan melepas tautan tangan mereka.
Setiba mereka di depan rumah Mak Tari, wanita itu langsung muncul karena mendengar suara dari luar. "Oh, kalian, yah. Masuk dulu, yuk!"
"Tidak perlu, Mak. Tujuan Fati sama Narji ke sini, cuma buat sewa motor, mau ke pasar."
"Oh, sewa motor? Nak Narji bisa bawa motor?" Tatapan Mak Tari berpindah ke arah Narji.
"Saya bisa, Mak," jawab pria berkacamata itu.
"Ya sudah, mak ambil kuncinya dulu!"
Sementara Mak Tari mengambil kunci motor, Narji mencuri kesempatan untuk melihat bagian dalam rumah Mak Tari. Ternyata ada yang membedakan rumah wanita paruh baya itu dengan rumah sewa, rumah Mak Tari hampir semuanya berlantai.
"Ini kuncinya!" Mak Tari tiba-tiba muncul dari kamar, dan menyerahkan kunci pada Narji. "Hati-hati yah, Nak. Jalan di sini banyak batu dan licin. Beda sama jalan di Jakarta."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengukir Iktikad (Completed ✔️)
RomanceFAST UPDATE! #Rank_1_perempuan (02-06-2023) #Rank_2_diskriminasi (12-01-2023) #Rank_2_perempuan(31-05-2023) #Rank_2_patriarki (25-02-2023) Ketidakadilan, kata yang horror makna. Problematika sosial yang tak pernah usai di era "Perempuan diakui kebe...