32. Salah Paham Sesaat

23 3 0
                                    

Part ini drama banget, guys. Aku aja agak geli bacanya 😂 but, aku harap kalian menikmati yah, gesss. Selamat membaca ....

Fatimah duduk lemah di sofa kamar, bersandar di bahu Narji. Ia memang sudah berhenti menangis, tetapi bukan berarti ia tidak bersedih. Dan keberadaan Narji cukup menenangkan, karena pria itu sangat sabar meladeni tangis dan curahan hatinya. Meskipun setelah ini, ia tidak tahu apa yang akan terjadi, karena sesenang apapun dirinya di dekat Narji, ia tetap tak akan mengabaikan kalau di antara mereka, ada sosok perempuan lain yang lebih pantas bersama Narji.
Namun untuk kali ini, ia masih terlalu lemah untuk beradu mulut. Biarkan seperti ini dulu sampai tenaganya kembali, dan ia akan meminta Narji pergi.

Kecanggungan jelas ada di antara mereka, tetapi tak ada satupun yang berniat menunjukkan suasana itu.

"Aku nggak nyangka bisa ketemu kamu lagi,"ucap Narji membuka percakapan. Ingin sekali ia menanyakan kabar 6 bulan perpisahan mereka, tetapi situasi saat ini sangat tidak tepat. Fatimah masih berduka, dan ia hanya harus menjadi tempat bersandar yang nyaman.

"Maaf udah ngerepotin, Ji."

Narji mengawai pundak Fatimah, agar keduanya bisa bertatapan. "Yang penting ketemu sama kamu, aku nggak peduli gimanapun keadaannya. Aku seneng banget bisa ngeliat kamu lagi, Fat."

Mata Fatimah berkaca-kaca, ternyata Narji masih sama. Tadinya ia khawatir Narji akan marah karena pelariannya dari pria itu. Namun ia justru memahami perasaan Fatimah. Buktinya, hanya ia yang sedari tadi bicara, dan Narji hanya mendengar. "Maaf buat 6 bulan---"

"Tunggu dulu bahas itu, Fat. Sekarang yang Paling penting, kamu ngerasa tenang dulu. Kita bisa ngobrol yang lain kalo kamu udah siap."

Setetes air mata Fatimah jatuh. "Makasih selalu ngertiin aku."

Narji tak tega. Ia kembali mendekap Fatimah, dan gadis itu tidak menolak. Hening cukup lama di antara mereka, sampai akhirnya Fatimah lebih dulu bersuara, "Setelah dua tahun ... akhirnya aku ketemu sama ibu."

Narji semakin erat memeluk Fatimah.

"Dari sekian banyak orang." Ia melanjutkan dengan suara serak. "Kenapa harus aku yang ngerasain ini semua, Ji?" Narji merasakan tarikan di kaos hitamnya. "Kenapa harus ayah dan ibu aku yang dipanggil?" Dan pada akhirnya, Fatimah kembali menangis. "Aku belum sempat minta maaf sama ibu. Aku ngerasa bersalah sampe sekarang ...."

Narji yakin masih banyak sekali yang akan Fatimah ceritakan, sehingga ia tak berniat mengeluarkan suara.

"Ibu pasti benci banget sama aku, sampe-sampe dia pergi tanpa sepengetahuan aku." Fatimah meraup udara sebanyak mungkin. "Aku harus gimana, Ji?"

Keadaan kembali sepi, dan Narji akan menunggu beberapa lama sampai ia yakin kalau Fatimah tidak lagi bersuara.

"Kamu tau, nggak, Fat? Orang yang banyak ujian, tandanya dia kuat." Narji mulai bersuara. "Allah itu bijak, jadi nggak mungkin dia ngasih ujian seberat ini sama orang yang lemah, yang nggak bisa hadapi ujian---"

"Tapi aku lemah, Ji. Aku nggak kuat hadapi ini."

"Siapa bilang? kalo kamu lemah, mungkin udah dari dulu kamu ambil tindakan salah, dan nggak bisa jadi Fatimah yang sebaik ini. Kalo kamu nggak kuat, pasti sekarang kamu udah depresi, sikap kamu juga nggak baik sama orang. Tapi liat kamu yang sekarang, kamu makin kuat, Fat. Kamu makin tahan banting. Kamu tau kenapa? Itu karena Allah nggak mungkin kasih ujian sama orang yang lemah, yang nggak mau bangkit dari masalah. Jadi satu-satunya alasan cobaan ini menimpa kamu, karna kamu yang paling kuat dari berjuta-juta orang di dunia."

"Tapi aku punya banyak salah sama ibu, dan sampe sekarang aku belum minta maaf."

"Nggak ada masalah tanpa jalan keluarnya. Aku yakin ini berat buat kamu, tapi aku akan selalu ada buat temani kamu hadapi semuanya."

Mengukir Iktikad (Completed ✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang