9. Manusia Desa

16 2 0
                                    

Narji menggeliat dalam tidurnya. Beberapa saat kemudian, ia mulai sadar dapat mendengar kicauan burung berbalas-balasan, serta dinginnya udara pagi, sampai-sampai selimut tebal menutupi keseluruhan tubuhnya. Ketika kesadaran akhirnya benar-benar muncul, Narji baru ingat kalau sekarang ia bangun di tempat yang jauh berbeda dengan apartemennya di Jakarta. Kalau di Jakarta, ia pasti sudah mandi keringat kalau tidak ada AC. Sementara di Desa Batutua, bahkan hampir setiap detik ia merasa sejuk dan dingin. Niat hati melanjutkan tidur, tetapi rupanya ia tidak bisa, karena memang kebiasaannya bangun pagi. Ia meraih gawai di samping kasur, dan mendesah karena sekarang masih jam lima subuh, tetapi matahari sudah bersinar terang. Dan kalau ia tidak salah dengar, diluar seperti sedang ramai.

Tidur cepat, bangun awal ....

Apakah seperti itu budaya hidup manusia pedesaan?

Karena sangat penasaran, ia menyempatkan waktu beberapa menit untuk mengumpulkan nyawa, kemudian bangun dan melihat keadaan di luar. Narji dibuat bengong beberapa saat, karena tak menyangka di jam seperti ini, masyarakat desa sudah beraktivitas. Banyak orang lalu-lalang sambil membawa baskom berukuran besar, ada yang membawa karung, ember berisi pakaian, dan para bapak yang menenteng galon air.

"Selamat pagi, Mas," sapa salah satu pria paruh baya. Narji hafal pria itu. Dia yang kemarin memberikan sepiring nasi kuning lengkap dengan isiannya.

"Selamat pagi, Pak. Rajin amat Pak pagi-pagi begini udah kerja."

"Biasa, Mas. Kalo tidak kerja pagi-pagi, nanti siang tidak punya waktu di kebun."

"Oh, silakan dilanjutkan, Pak."

Pria tua itu izin pamit sambil memikul galon berisi air yang entah diambil dari mana.

"Tumben!" Suara dari belakang membuat Narji spontan berbalik dan melihat Ferdi dengan wajah kusut tengah menghampirinya.

"Abisnya pagi-pagi gini udah ribut. Pas gue bangun, ternyata orang-orang udah pada kerja."

"Something new, right?"

"Lumayan," jawab Narji tanpa minat. "Btw, banyak yang bawa galon, pakaian kotor, itu mereka mau kemana sih? Emang ada sumber air?"

"Tepat di belakang rumah kita, ada sungai yang airnya jernih. Masyarakat biasanya ambil air di situ."

"Sungai? Di belakang rumah?"tanya Narji setengah tak percaya.

"Lo liat aja sendiri. Gue mau siap-siap balik ke Jakarta."

"Nggak nunggu seminggu aja, Fer? Emang lo nggak kasian gue di sini sendiri?"

"Pekerjaan gue numpuk, Ji. Lo tau sendiri, 'kan, gimana jahatnya Pak Amar kalo sampe gue telat kasih laporan mingguan. I might be fired from my lecturer assistant position."

Narji mengembuskan napas panjang dan berkata, "Okay, just get ready, then. I want to go for a walk."

Tanpa menunggu balasan Ferdi, Narji langsung melangkah keluar, dan tempat pertama yang terlintas di pikirannya, adalah sungai yang Ferdi maksudkan. Ia mengikuti arah beberapa orang yang membawa pakaian dan galon. Tak lama dari situ, ia langsung melihat sungai tepat di belakang rumah, mungkin jaraknya sekitar seratus meter. Suasana di situ sangat ramai dikerumuni banyak orang.

Ketika Narji semakin mendekat ke sungai, ia dapat melihat dengan jelas betapa jernihnya air sungai. Banyak sekali ikan kecil yang dapat dilihat saking jernihnya air. Narji berdiri di sebuah batu besar, sambil memerhatikan beberapa orang yang mencuci baju di tempat yang terpisah dengan sungai. Ada yang mandi, berenang, mencari ikan, dan tak sedikit pula yang menampung air melalui bambu yang sengaja dipotong setengah lingkaran, agar dapat mengalirkan air yang mungkin saja berasal langsung dari gunung. Beberapa mata air yang dialiri melalui bambu, adalah air yang khusus digunakan untuk menampung air galon, dan digunakan untuk mandi. Sungguh suasana desa yang menenangkan, dan jauh dari polusi, panas, apalagi macet. Narji memejamkan mata dan menghirup udara pagi dengan serakah. Kapan lagi ia bisa merasakan sejuk seperti ini, bukan?

Mengukir Iktikad (Completed ✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang