31. Kita Bersua

18 3 0
                                    

Narji merasa tidurnya belum cukup, setelah semalaman ia begadang demi menyelesaikan tugas-tugas dari sekolah.

Ya, setelah berdebat dengan Heri beberapa bulan yang lalu, ia akhirnya mau memikul tanggungjawab sebagai penerus ketua yayasan Darma Bakti. Ia bertanggungjawab mengontrol dinamika yayasan yang terdiri dari kegiatan besar sekolah, pengelolaan dana sekolah, pemeriksaan lingkungan sekolah dari Dinas Pendidikan, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Meskipun tanggungjawab itu kelihatan sepele, nyatanya tugas-tugas yang harus ia selesaikan selalu ada, sampai menumpuk. Karena bagaimanapun juga, ia adalah orang penting dalam yayasan, yang dikenal tidak hanya dari para guru dan siswa, tetapi juga orang-orang yang menduduki jabatan dalam pemerintahan. Jadi sebisa mungkin ia bersikap bijak dan bertanggungjawab penuh.

Untuk profesinya sebagai seorang sarjana teknik, tentu saja ia mulai meninggalkan cita-cita itu karena harus fokus pada tugasnya di yayasan. Namun bukan berarti Narji benar-benar menghilang dari dunia kecintaannya. Ia masih berusaha menyisihkan waktu untuk menerima tawaran dari klien. Dan karena usahanya meraup dua pekerjaan sekaligus, ia hampir tidak punya waktu istirahat yang cukup.

"Kerja terus, calon istri dilupain," sindir Ferdi suatu waktu.

Sebenarnya menjadi gila kerja, merupakan bentuk pelarian Narji dari pikiran-pikiran akan gadis itu. Ia juga bukannya mengabaikan untuk menikah, hanya saja, ia belum menemukan sosok pengganti Fatimah. Lebih tepatnya, memang tidak ada yang seperti Fatimah.

"Gue mau cari calon istri, syarat utamanya harus mirip sama Fatimah!" celetuknya suatu hari, ketika ia dan Ferdi mendatangi sebuah tempat hiburan malam.

Tentu saja Ferdi terbahak mendengar itu. Bagaimana bisa ada orang yang sama persis, sedangkan pada saudara kembar saja ada bedanya.

Bayangkan 6 bulan ia hilang kontak dengan Fatimah. Tak hanya kontak WhatsApp dan sosmed lainnya, tetapi juga kontak mata dan kontak-kontak lainnya. Dan selama itu pula, ia tak henti-hentinya bolak-balik Jakarta-Bandung hanya untuk meminta penjelasan Fatimah.

Intinya, 6 bulan bukan waktu yang cukup untuk mengalihkan kenangan tentang gadis itu dari pikiran Narji.

Drttt! Drttt! Drttt!

Sialan! batin pria itu sambil menggeliat dalam tidurnya.

Drttt! Drttt! Drttt!

Sepertinya ponsel sialan itu tidak akan berhenti sebelum Narji menerima panggilan. Akhirnya dengan sangat malas ia meraba meja di samping kasur, di mana ponselnya terletak. Ia melirik dengan mata berat, nama Dewi tertera sebagai penelepon.

"Hm," ucapnya dengan malas.

"Narji!"

"Hm."

"Lo baru bangun?"

"Napa sih? masih ngantuk gue!"

"Santai aja, ferguso!"

"Nggak usah basa-basi. Lo ngapain nelpon gue pagi-pagi gini?"

"Pagi pala lo! Ini udah setengah 2, tau!"

Narji tersentak. Ia menjauhkan ponsel dari telinga dan melihat jam. Matanya melotot begitu tahu ini sudah bukan pagi, tetapi siang menjelang sore.

"Ji? Lo denger, nggak?"

Hampir saja Narji lupa kalau ia masih menelepon. "Iya."

"Gue baru aja jalan-jalan, terus pas di mobil, nggak sengaja ngeliat cewek yang mirip sama di wallpaper lo."

Mengukir Iktikad (Completed ✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang