MT-19

3.3K 203 12
                                    

Seperti hari-hari sebelumnya. Saat ini Reliya berdiri dengan tangannya memegang nampan berisi mangkuk berisi masakan yang telat dia buat.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan hal itu dijadikan kesempatan Reliya untuk mendekati Gama. Lebih tepatnya membujuk pria itu yang masih begitu sensitif dengannya.

"Enggak liat jam?" Gama menatap lelah ke arah Reliya yang masih tetap terlihat segar di jam segini, apa lagi wanita itu masih menggunakan make up.

Berbeda dari Reliya, Gama saat ini sudah mengenakan piama berwarna biru gelap. Rambut pria itu sedikit basah sepertinya sehabis mandi.

Gama sebenarnya tidak begitu terkejut, karena sejak dulu semangatnya dan Reliya berbeda. Wanita itu selalu saja terlihat bersemangat.

"Aku bawain makanan buat Mas Gama. Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam." Tanpa persetujuan dari Gama Reliya sudah memasuki rumah pria itu.

Gama berdecih sebal, merasa tak dihargai sebagai tuan rumah. Sepertinya memang sejak dulu Reliya suka menguasai rumah Gama.

"Aku buatin sop ayam buat Mas Gama. Ini juga ada sate, tapi aku enggak yakin sama rasanya," ucap Reliya disertai cengiran.

Gama terlihat pasrah melihat makanan yang Reliya bawa. Karena jujur saja sebelum pulang ke rumah Gama sudah makan malam di luar.

"Mas Gama pasti lapar." Gama memutar bolanya malas, terlihat tak peduli.

Gama rasanya ingin berteriak kalau dirinya sudah kenyang. Namun, melihat wajah bersemangat Reliya Gama menjadi ragu melakukannya.

"Selamat makan!" Gama pasrah. Sepertinya tidak masalah menambah satu piring nasi lagi. Yang jadi masalah Reliya begitu banyak menaruh nasi di piringnya.

"Habisin loh, kalau dibuang nasinya nangis." Gama mengangguk singkap. Tanpa banyak bicara melahap masakan Reliya dalam diam. Karena Gama juga tak berbohong jika masakan Reliya cukup enak, ingat cukup enak.

"Mas Gama baru pulang, ya?" tanya Reliya.

Sepertinya teguran beberapa hari yang lalu tak berguna untuknya. Gama yang ditanya malah mengangguk seadanya.

"Aku pulang dulu, ya?" Reliya bangkit saat menyadari jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

Setelah kepergian Reliya Gama menatap masakan Reliya dengan senyum kecut. Terpaksa Gama simpan terlebih dahulu dan menghabiskannya besok. Gama hanya berharap satu, jika semua masakan ini tak basi esok hari.

                               ***

Reliya sedang memasak pagi ini, rencananya untuk membawakan Gama bekal. Namun, Reliya mendengar suara benda jatuh dari teras, hal itu membuat Reliya berlari ke luar karena penasaran.

"Kamu jatuh?" Reliya mendekat ke arah sesosok anak laki-laki kecil yang saat ini sedang menangis sambil menutupi lututnya yang sepertinya mengeluarkan darah.

"Tunggu!" Reliya masuk ke dalam mengambil obat merah.

Setelah ke luar Reliya langsung membantu bocah kecil itu. Sesekali Reliya meringis saat anak kecil itu berteriak kesakitan.

"Ayo kakak anter pulang." Reliya menggendong bocah kecil yang kira-kira berusia tiga tahun itu. Merasa kasihan harus pulang sendirian dengan kaki terluka.

"Rumah kamu di mana?" tanya Reliya.

"Di sana, Tante." Reliya mengangguk ketika matanya menangkap sebuah rumah berwarna putih di tempat tak jauh dari dia berdiri.

"Mama kamu di dalem?" Bocah itu mengangguk.

"Angga!" Reliya tersentak kaget saat mendengar suara perempuan berteriak dengan nada panik.

"Ini kenapa?" Ibu Angga bertanya khawatir saat melihat luk lutut anaknya yang cukup parah.

"Makasih ya kamu udah bantuin Angga. Dia emang suka bandel pergi tanpa bilang-bilang." Reliya mengangguk dengan senyum tipis.

"Sama-sama, Bu. Kalau gitu saya langsung pulang."

Setelah mendapat persetujuan Reliya langsung pulang ke rumahnya dengan wajah tersenyum, tetapi senyumnya seketika luntur saat melihat banyak orang berada di depan rumahnya.

Bukan, bukan karena itu Reliya terkejut. Namun, dengan api yang sudah hampir melahap habis seluruh rumahnya. Reliya merasa bodoh saat baru mengingat jika tadi dia belum mematikan kompor.

Reliya berlari kencang, berusaha masuk untuk menyelamati barang-barang bahagianya. Namun, seseorang menariknya lalu memeluknya dengan sangat erat.

"Udah kamu harus sabar, di dalem bahaya." Dada Reliya terasa sesak melihat itu. Semua barangnya ada di sana, bahkan segala kenangannya dan juga Gama.

"Album masa kecil kita," ucap Reliya terbata, merasa takut sekaligus bimbang.

"Sstt, aku masih ada." Mendengar itu Reliya merasa benar-benar lega, tetapi masih belum menghentikan tangisnya.

Uang, ponsel, pakaian, segalanya di sana. Untung saja dompet berisi segala kartu berharga tertinggal di butiknya, jadi Reliya tak benar-benar jatuh miskin.

"Ssstt, udah semuanya bakal baik-baik saja." Reliya malah semakin menangis kencang.

Masalahnya Reliya tak tau harus tinggal di mana setelah ini, tak mungkin dirinya kembali ke Amerika lagi. Sungguh itu bukan hal yang tepat.

Hai
Akhirnya bisa double update
Aku bakal usahain secepatnya namatin cerita ini.

Dan ada informasi penting. Bakal ada kejutan di part selanjutnya, tapi aku enggak bisa mastiin di bab berapa. Langsung baca aja di setiap bab yang akan aku publish.

Aku seneng banget dapet respons baik. Aku kira kalian semua udah ninggalin aku karena lama update.

Pokoknya tencu semuanya.

Lopyu.

Mas Tetangga 2 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang