MT-2

5.8K 301 8
                                    

Reliya menghela napas kasar saat hujan turun dengan deras hingga mengenai heels yang dia pakai. Udara dingin seakan menusuk, membuat Reliya mengelus lengannya untuk mengurangi rasa dingin.

"Taksinya mana, sih?" Reliya bertanya sebal. Sudah hampir sejam dia menunggu taksi, tetapi sampai sekarang tak kunjung datang.

Reliya beberapa kali mengecek ponselnya. Namun, sayang sepertinya takdir sedang tak berpihak. Ponselnya tiba-tiba mati.

"Aish." Wanita dengan sweater rajut itu memundurkan tubuhnya untuk menghindari air hujan.

Tak lama dari itu sebuah mobil yang Reliya tebak taksi yang dia pesan berhenti tepat di depannya. Reliya berdecak sebal, tetapi lega di waktu yang bersamaan.

"Mbak Reliya?" Reliya mengangguk membenarkan.

"Maaf Mbak, tadi ban mobilnya kempes."

"Iya enggak apa-apa, Pak."

Reliya menutupi kepalanya dengan tangan berlari kecil memasuki mobil. Secara bersamaan sebuah mobil berwarna hitam lewat tepat di sebelah taksi. Di dalam mobil itu ada Gama yang baru saja akan pulang menuju rumahnya.

"Jalan, Pak." Mobil yang Reliya tumpangi melaju membelah hujan.

Kedua mata Reliya sibuk memperhatikan hujan yang turun menjatuhi bumi. Tanpa sadar sudut bibirnya terangkat, saat mengingat masa kecilnya dulu saat sedang bermain hujan bersama Gama.

"Aku masih enggak nyangka hubungan kita bakal sejauh ini," gumam Reliya kecil, sampai hanya dirinya sendiri yang mendengar.

***

"Kenapa mama enggak ngomong mau ke sini?" tanya Gama melihat ibunya tiba-tiba datang dengan membawa banyak makanan. Lina memang selalu khawatir takut Gama melupakan makannya.

"Emang harus ngomong dulu mau ke rumah anak sendiri?" sinis Lina langsung duduk di sofa ruang tamu. Gama duduk di depan Lina memperhatikan sang ibu yang sibuk mengeluarkan beberapa camilan bahkan sayuran ke atas meja.

"Kamu kenapa enggak tinggal sama mama aja, sih?" dumel Lina kesal. Ini bukan pertama kalinya Lina meminta Gama untuk tetap tinggal bersamanya.

"Gama udah dewasa, Ma. Gama juga pengen hidup mandiri."

"Mangkanya cari istri." Gama menghela napas kasar, wajahnya seketika berubah dingin.

"Mama enggak bermaksud memaksa kamu, tapi mama khawatir sama kamu." Gama mengangguk tersenyum tipis, "Gama ngerti, Ma."

Lina menatap putra satu-satunya sendu. Setelah perceraian putranya, Lina merasa putranya semakin menjauh darinya. Lina sebenarnya tau apa alasannya, Gama hanya tak ingin membebaninya, dan berusaha menutupi perasaannya.

"Kamu sudah melupakan Reliya, kan?" Gama langsung menatap Lina, bibirnya kelu tak bisa mengeluarkan suara.

"Kamu harus bisa lupain dia, Gama. Mama cuma pengen kalian berdua bahagia. Kalian berdua itu sama-sama anak mama." Setelah Gama dan Reliya resmi berpisah, memang Reliya beberapa kali menghubunginya. Namun, Reliya meminta Lina menyembunyikan itu dari Gama, dan Lina menuruti hal itu.

"Gama cuma butuh waktu, Ma."

"Delapan tahun enggak cukup?" tanya Lina. Gama diam tak menjawab, dirinya sendiri pun masih belum yakin dengan perasaannya.

"Mama mau minum apa?" tanya Gama mengalihkan pembicaraan. Akhirnya Lina menyerah, memilih tidak membahas masa lalu putranya.

"Mama mau teh aja." Gama mengangguk langsung bangkit menuju dapur. Lina menatap sedih punggung putranya, dia tak menyangka kisah cinta putranya akan berakhir seperti ini. Terlebih lagi bersama seseorang yang sudah dia anggap sebagai putrinya sendiri.

"Mama jangan mikirin yang enggak-enggak." Gama datang dengan segelas teh di tangannya. Langsung meletakkannya di hadapan Lina.

"Enggak, kok," elak Lina berbohong.

"Aku udah dewasa, Ma. Mama enggak perlu khawatir. Gama sekarang baik-baik aja." Lina mengangguk, tetapi hatinya tidak percaya. Bagaimana tidak, Gama semakin hari semakin tertutup dengan sekitarnya.

"Mama percaya sama kamu." Lina tersenyum. Dia sangat berharap semuanya baik-baik saja, termasuk perasaan Gama terhadap mantan istrinya dulu.

***

"Apa harus kasih ke rumah sebelah, ya?" Reliya menatap kue di tangannya dengan bimbang. Sebenarnya tadi tiba-tiba ide untuk memberi kue kepada tetangganya terlintas, tetapi sekarang dirinya malah ragu.

"Kira-kira orangnya baik enggak, ya?" Reliya meringis saat membayangkan wajah garang tetangganya terlintas di kepalanya.

"Kalau sinis tinggal sinisin balik aja." Reliya mengangguk yakin, memasukkan kuenya ke dalam kotak. Dia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya, dia yakin tetangganya itu tak seperti apa yang dia pikirkan.

Dengan langkah percaya diri Reliya ke luar dari rumahnya dengan menenteng paperbag berwarna coklat. Dia menatap kagum rumah tetangganya saat sudah sampai di sana. Yang dia dengar penghuninya adalah seorang duda, tetapi rumahnya bisa sebersih ini. Bahkan halaman rumahnya penuh dengan bunga-bunga cantik, Reliya tersenyum memiliki ide untuk menanam bunga juga.

Dengan langkah ragu Reliya mendekat ke arah pintu. Dia mengumpulkan niat hingga berani mengetuk pintu di hadapannya.

TBC

Kira-kira Reliya bakal ketemu Gama ga? Atau bahkan ketemu ibunya Gama juga?

Jangan lupa tunggu kelanjutannya.

Mas Tetangga 2 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang