Cinta Seorang Ayah

519 23 11
                                    


بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ


*اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ*

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh.
.
.

Semoga memberikan manfaat
.
.

Happy reading:)

Cinta Seorang Ayah

Matahari tak menunjukkan sinarnya pagi itu. Di sebuah desa Srigonco Malang. Di dalam rumah sederhana, seorang wanita berusia dua puluh satu tahun. Hafsah Shadiqah. Seorang anak perempuan berkulit cerah, berparas cantik. Rambut tertutupi kerudung panjangnya. Ia memandang dunia luar dari pintu yang terbuka cukup lebar. Ia duduk santai beralas tikar bersama sang ayah yang sedari tadi memperbaiki jaring penangkap ikan. Hilal. Terlihat tubuhnya tidak gagah lagi, kerutan terlihat jelas diwajahnya dan rambut yang kian memutih. Namun bagi Hafsah, lelaki yang duduk di sampingnya adalah sosok yang paling tampan.

"Sepertinya akan turun hujan, Yah."

"Iya, Nak. Enaknya pagi mendung seperti ini, menikmati makanan hangat. Seperti singkong yang sudah di kukus."

"Kenapa ayah sangat menyukai makanan sederhana itu?" Tanya Hafsah.

"Orang dahulu menjadikan singkong, makanan untuk bertahan hidup. Tentu ayah sangat menyukai makanan sederhana ini." Jelas Hilal.

"Bagaimana hafalanmu, Nak?"Tanya Hilal.

"Hafalan Hafsah masih tetap lima juz, Ayah. Sangat sulit menambah hafalan diwaktu kuliah. Hafsah sibuk dengan tugas kuliah." Jelas Hafsah dengan nada sedikit sedih. Hafalan Al-Quran yang tak lagi bertambah semenjak memasuki kuliah semester empat.

"Jangan bersedih toh, Nak. Yang penting Hafsah istiqomah muraja'ah. Hafsah masih ingin jadi dokter?"

"Hafsah masih tetap ingin menjadi dokter, Ayah."

"Ayah bangga dan bersyukur, Hafsah bisa berkuliah dan siapa sangka Hafsah akan memasuki semester lima, anak seorang penangkap ikan dengan jaring ini. Selain itu, menjadi seorang dokter adalah impian ayah dahulu." Ucap Hilal lembut dengan tatapan fokus pada jaringnya.

Pekerjaan Hilal bukan seperti nelayan pada umumnya yang dapat memasang jaring ikan dengan perahu yang dimilikinya. Ia hanya memasang jaring ikan dengan berjalan dari tepi hingga air laut menutupi tubuhnya, kecuali bagian wajah.
Pendapatan yang tidak seberapa, bahkan pernah tidak mendapati ikan satupun.
Hafsah memandangi wajah yang kian menua, terukir senyum diwajah sang ayah. Hafsah mendapati banyak bekas luka di tangan ayahnya. Bahkan terdapat luka lebam yang jika tersentuh akan terasa sakit. Namun, seakan ayahnya tak merasakan sakit sedikit pun, terlihat tangannya yang begitu mahir dalam memperbaiki jaring ikan tersebut.

"Seorang dokter, profesi yang sangat mulia. Bisa mengobati orang-orang yang sakit. Namun, ada satu hal yang harus diingat. Dokter hanyalah perantara saja. Tetaplah Allah yang menyembuhkan penyakit dari pasien." Lanjut Hilal.

"Ayah, doakan anakmu ini selalu."

"Teruslah ikhtiar, Nak. Ayah yakin, Hafsah pasti bisa."

Hafsah tersenyum.

Suasana semakin dingin, pohon-pohon mengikuti hembusan angin, suara ayam yang sudah tak terdengar lagi, dan matahari masih sembunyi di balik tabir awan mendung. Kini air hujan mengambil peran dalam membasahi bumi. Hilal meminta Hafsah untuk menutup pintu.

Melukiskan Cita & Cinta [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang