Kau Jangan Jauh-jauh Dariku

72 10 0
                                    

Kau Jangan Jauh-Jauh Dariku

Pagi itu Hafsah dan Rayna baru usai membaca Al-Quran. Lafadz yang terangkai indah dan surah-surah yang menyentuh hati dalam Al-Quran.

Perumpamaan orang mukmin yang membaca Al-Quran bagaikan buah Utrujah, rasa buahnya enak dan baunya wangi. Dan perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca Al-Quran bagaikan buah kurma, rasanya enak namun tidak berbau. Sedangkan perumpamaan orang munafik yang membaca Al-Quran, bagaikan buah Raihanah, baunya enak namun rasanya pahit. Dan perumpaman orang munafik yang tidak membaca Al-Quran, bagaikan buah Hanzhalah, rasanya pahit tetapi tidak berbau. Hadist riwayat Imam Bukhari dan Muslim itu kembali berdengung-dengung di telinga Hafsah. Ia tidak tahu berada diperumpaan yang mana. Namun ia merasa sangat takut, jika perumpaan untuk orang munafik ada pada dirinya. Ia beristighfar.

"Aku sekarang pulang malam lagi, Ra." Kata Hafsah.

"Jadwalmu sekarang tambah padat lagi. Semenjak Zahra pergi, kau membagi waktu untuk mengajar anak-anak mengaji. Tugas kuliahmu semakin banyak dan kau sering mengumpulkan tugas melebihi deadline. Jam tidurmu semakin sedikit. Jangan lupakan kesehatanmu, Hafsah." Tutur Rayna menatap haru.

"Bagaimana jika kau ikut membantuku untuk mengajari anak-anak? Aku telah membagi waktuku mengajar dan waktu Daffin mengajar. Agar lebih meringankan dan akan ada tiga guru yang mengajari mereka secara bergantian. Jika kau mau."

Hafsah kembali mengingat sosok Zahra. Masih sangat banyak yang ingin dilakukan bersamanya. Namun, takdir tidak ada yang tahu selain Allah. Hafsah juga mengingat saat pertama kali bertemu Daffin. Ketika Hafsah mengajar di masjid, tanpa sengaja Daffin mendengarnya di balik pembatas shalat antara lelaki dan perempuan. Daffin dan Hafsah berkenalan. Kemudian Daffin menawarkan diri untuk membantu Hafsah. Karena masih sama-sama kuliah, Hafsah mengatakan kepada Daffin untuk bergantian mengajar sesuai jadwal mereka.

Daffin menceritakan semuanya kepada Hafsah mengenai ayahnya dan mengenai Zahra, calon istrinya. Dua sosok yang berperan penting dalam hidupnya. Dengan mendatangi masjid itu dan bisa mengajari mereka, Daffin merasa seakan setetes embun bisa menggantikan kerinduannya kepada Zahra.

"Kematian adalah sesuatu yang pasti akan datang kepada kita. Kematian dan jodoh sama-sama misterius. Tak memandang usia, tak memandang kondisi, maupun waktu, itulah kematian yang tak akan pernah diketahui oleh kita, kapan dan dimana, kematian senantiasa mengintai kita. Hanya kepada-Nya kita kembali." Kalimat yang pernah dikatakan Daffin.

Hafsah sangat sedih mendengar semuanya, dadanya serasa sesak hingga tanpa disadari air mata membasahi kerudung yang ia kenakan.

Rayna menyetujui penawaran dari sahabatnya itu. Hafsah seketika bertahmid.

Kampus masih sangat ramai oleh mahasiswa, meski layar hape telah menunjukkan pukul 19.20 WIB. Hafsah duduk berdua bersama Halia sambil mengerjakan tugas kuliahnya. Tatapan Hafsah fokus pada layar laptop dan sesekali melihat buku yang berada di samping laptopnya. Mungkin jilbab yang ia kenakan, tak membuatnya merasa hawa dingin.

"Hafsah..Aku pulang dulu, ya. Kau sudah tahu, kan? Kalau kos ku lumayan jauh." ucap Halia.

"Iya." Hafsah masih fokus.

"Kau masih nggak mau pulang?"

"Sebentar lagi. Kau pulang dulu aja. Selagi kampus masih ramai, aku berani."

"Apa kau baik-baik saja, Hafsah? Kau sekarang terlihat pucat."

"Aku nggak apa-apa. Mungkin karena suhu dingin, aku jadi terlihat pucat."

"Mmm, syukurlah jika kau baik-baik saja."

Hafsah tersenyum.

"Bukankah itu Syabil?" Tanya Halia sambil tatapannya tertuju pada sosok lelaki yang duduk tak jauh dari Hafsah.

Melukiskan Cita & Cinta [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang