Merakit Mimpi
Hafsah dan Rayna melakukan perjalanan pulang kampung usai ujian akhir semester.
Di dalam mobil Rayna. Hafsah terlihat murung.
"Kau sedang memikirkan apa, Hafsah?" Tanya Rayna.
"Nggak ada, Ra." Balas Hafsah tersenyum.
"Aku tahu kau sedang menutupi kesedihanmu. Aku berharap semester depan semangatmu kembali."
Hafsah tersenyum.
Sampai di rumah, Hafsah langsung memeluk ibunya. Ia masih berusaha membendung air matanya.
Ketika Hafsah berjalan menuju kamar yang harus melewati kamar orang tuanya, ia menghentikan langkahnya. Bayangan ayahnya hadir di pelupuk matanya.
Ketika berbicara, bersenda gurau bersama sang ayah, melihat sajadah terhampar yang biasa digunakan ayahnya untuk beribadah di samping ranjang tidurnya dan melihat jaring penangkap ikan yang tergantung di samping kamar sang ayah. Semua kenangan bersama ayahnya hadir hingga air mata Hafsah sudah tak mampu dibendung.
Nurasilah memeluk putrinya. "Hafsah harus ridha, Nak." Hafsah terisak tangis dalam pelukan ibunya.
***
"Hafsah! Ayo bangun. sudah pagi."
Hafsah terbangun oleh suara nyaring Ibunya dari dapur. Ia duduk terlebih dahulu sebelum beranjak dari kasurnya. Masih terasa berat untuk benar-benar membuka mata, seolah mengajaknya untuk kembali tidur, disertai mulut menguap.
"Sudah bangun, Hafsah?" Mendengar suara Ibunya lagi, membuat Hafsah segera keluar dari tempat yang selalu membuatnya merasa nyaman.
Melihat Ibunya sibuk memasak dan mencium aroma masakan, membuatnya menyunggingkan senyuman. Rasanya sudah lama tidak menikmati lezatnya masakan Ibunya.
"Anak perempuan harus bangun pagi. Ingat kata ayah toh? Salah satu kunci sukses adalah bangun pagi."
Hafsah membalas dengan senyuman. Seketika ia mengingat kalimat yang pernah dikatakan oleh ayahnya, seperti yang dikatakan oleh ibunya.
Kalimat Ayahnya yang hampir terlupakan, "Nak, jangan pernah tinggalkan shalat malam."
Pagi itu Hafsah merasa bersalah karena tidak melaksanakan shalat tahajjud.
Selepas membersihkan diri. Hafsah melaksanakan shalat subuh, berdzikir dan dilanjutkan membaca Al-Quran.
Menjelang Siang, Hafsah melihat Neneknya yang sedang duduk di teras rumahnya. Ia menghampiri dan mengambil posisi duduk di sebelahnya.
"Cita-citamu apa toh, Nduk?"
"Perempuan juga harus memiliki cita-cita, Mbok? Bukannya perempuan nantinya balik ke dapur juga, Mbok?"
"Meski perempuan harus berani memiliki impian, Nduk. Kalau kamu ndak memiliki impian, lalu kenapa kuliah toh? Ingat Ibumu, Nduk. Dia bekerja keras di kebun singkong tetangga, salah satunya buat biaya kamu kuliah."
Hafsah terdiam.
Perkataan yang dilontarkan oleh Neneknya sangat benar. Meskipun Hafsah kuliah mendapatkan beasiswa, namun kehidupan di kota tetaplah membutuhkan biaya yang terbilang cukup besar. "Bagaimana bisa aku bermimpi? Jika mimpiku telah hilang?" Hafsah ingin mengucapkan semua kalimat itu pada Neneknya.
Hafsah sangat suka membicarakan cita-cita atau mimpinya pada sang Ayah. Ayahnya selalu mendukung dan tak pernah mengekangnya. Namun, seseorang itu telah tiada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melukiskan Cita & Cinta [TERBIT]
RomanceKisah inspiratif dan romantis. Menceritakan dua kisah cinta yang berbeda. Cinta segitiga antara Syabil, Vian, dan Hafsah. Serta cerita singkat cinta Daffin, sahabat Vian. Syabil dan Hafsah adalah seorang mahasiswa jurusan Biologi. Vian, seorang maha...