Aku Rela dengan Semua Takdir Allah

56 7 0
                                    

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
.
.
Cerita ini murni imajinasi penulis, mohon maaf jika ada kesamaan nama tokoh dan alur.
.
.
Heppy Reading :)

Aku Rela dengan Semua Takdir Allah


Bibir Hafsah bergetar lirih melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Ia muraja'ah beberapa surah yang telah dihafalnya. Meski, sesekali masih melihat ayat Al-Quran yang berada dihadapannya.

Hafsah berusaha keras untuk tidak mengingat kisah yang diceritakan oleh sahabatnya dan membuat hatinya terluka. Akan tetapi, bayangan Syabil masih terlintas di pikirannya. Seketika ia tak bisa fokus dengan hafalannya. Ia terus beristighfar.

Hape Hafsah berdering. Ia langsung meletakkan kitab Al-Quran pada tempatnya.

"Assalamualaikum, Nak."

"Waalaikumussalam. Baru saja Hafsah akan menghubungi ibu."

"Menghubungi Ibu? Ada apa, Nak?"

"Ibu, Hafsah mencintai seorang pemuda dan pemuda itu juga pernah mengatakan bahwa dia mencintai Hafsah. Tapi, Hafsah sangat takut jika cinta ini hanya nafsu. Ibu, apa yang harus Hafsah lakukan?" Hafsah mengurungkan untuk menceritakan mengenai Syabil yang berpelukan dengan seorang wanita.

"Apakah pemuda ini yang Hafsah maksud, Nak?"

"Maksud, ibu?" Tanya Hafsah tersentak kaget.

"Sekarang ada lelaki yang datang ke rumah. Dia bermaksud untuk melamar Hafsah."

Hafsah terdiam. Ia kaget dan juga merasa heran. Ia mengira bahwa pemuda yang berada di rumahnya adalah Syabil. "Syabil mengatakan akan melamarku setelah lulus kuliah, mengapa dia datang sekarang ke rumahku?" Ujarnya dalam hati.

"Orang yang saling mencintai agar tidak mendekati zina adalah dengan menikah, Nak. Hafsah sudah pasti tahu hal itu. Tapi, jika Hafsah belum siap untuk menikah. Hafsah harus bisa mengendalikan cinta itu sesuai porsinya dan menyerahkan semuanya kepada Allah. Pemuda ini bermaksud baik padamu, Nak." Nurasilah yang memahami diamnya Hafsah.

"Tapi Hafsah masih kuliah, ibu. Hafsah masih sangat ingin menggapai cita-cita Hafsah yang sudah dirakit bersama ayah dan juga ibu."

"Hafsah bisa shalat istikharah dulu. Karena ketentuan Allah pasti yang terbaik."

"Ibu benar." Senyum mengembang diwajah Hafsah. Seakan sakitnya telah hilang.

"Siapa nama pemuda itu, ibu?" Tanya Hafsah memastikan.

"Vian Dharmawan."

Deg

Hafsah kembali terkejut, perkiraannya ternyata salah. Baru saja ia merasa bahagia, kini kebahagiaan sesaat itu sirna seakan tak berbekas. Ia tak ingin mengambil keputusan saat itu juga. Ia juga tak ingin mengatakan pada ibunya, jika pemuda yang dicintainya bukanlah Vian.

"Katakan padanya, Ibu. Beri Hafsah waktu tujuh hari untuk menentukan."

"Jika ada hal lain yang ingin Hafsah katakan, katakan saja, Nak."

"Sudah tidak ada, ibu."

"Yasudah. Ibu tutup telfonnya. Ibu juga akan menyampaikan ucapan Hafsah. "

"Ya, ibu. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Hafsah mengucapkan maaf kepada ibunya dalam hati. Ia merasa bersalah, sebab tak mengatakan semuanya.

"Sejak kapan Vian memiliki niat melamarku? Apakah dia mencintaiku? Dan Syabil, apakah dia sudah tidak memiliki perasaan terhadapku?" Segala pertanyaan terlintas dalam benak Hafsah. "Aku akan bertanya langsung kepada Vian. Tapi, saat ini aku ingin bertemu dengan Syabil. Ingin mengetahui semuanya." Hati Hafsah kembali teriris.

Melukiskan Cita & Cinta [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang