12
𝓡𝓮𝓷𝓳𝓪𝓷𝓪 𝓐𝓶𝓮𝓻𝓽𝓪
Տ ᗴ ᒪ ᗩ ᗰ ᗩ T ᗰ ᗴ ᗰ ᗷ ᗩ ᑕ ᗩ
Dirumah sakit Almedika Husada, mobil yang berisikan keluarga Shifa terparkir rapi di pelataran rumah sakit. Shifa terlihat terburu-buru disaat netranya tidak sengaja melihat beberapa kerumunan polisi dan orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Polisi sedang menutup akses pintu rumah sakit, menghalangi beberapa orang yang membawa tulisan berisi makian terhadap keluarga Brawijaya. Sekarang bertolak belakang, jika dahulu keluarga itu selalu di agung-agungkan karena kekayaannya yang segunung. Maka hari ini semua yang dimiliki oleh Eyang Andra telah hagus tanpa sisa. Harga diri yang diraup dengan segala titik darah penghabisan hancur sekejap mata. Berita bahkan media saling berkejaran demi mendapatkan informasi menjanjikan tanpa tau kebenaran. Disitu polisi mencoba menjaga, mau bagaimana juga rumah sakit tersebut bersifat umum.
"Mana pertanggung jawabannya? Jangan-jangan kekayaan bertrilyun-trilyun adalah hasil dari uang rakyat!"
"Keluarga tak bermartabat!"
"Pantas saja sampai sekarang belum memiliki anak! Tuhan saja tau bagaimana seseorang yang pantas dan tidak pantas memiliki keturunan."
Makian demi makian mereka lontarkan. Shifa menutup telinganya, sungguh Ia tidak sanggup lagi mendengar ucapan kotor itu. Dan lagi, gadis itu baru sadar jika marga Brawijaya tidak melekat pada diri Andra. Seberapa banyak luka yang pria itu hadapi sebenarnya?
Gadis itu masuk kedalam dengan banyak pengecekan, sang Ayah maju ke garda kedepan. Mencoba bernegosiasi dengan aparat kepolisian, setelah menunggu beberapa menit akhirnya mereka semua boleh masuk. Untung saja hanya bertiga, andai tadi Mbaknya ikut. Pasti tidak diperbolehkan masuk. Rumah sakit juga mempunyai batasan.
Berjalan menuju lorong tempat Papa Andra dirawat, Shifa sempat berhenti sebentar. Sampai sang Bunda memegang pundaknya, seolah memberi isyarat kalau gadis itu harus tenang jika tidak ingin membuat beban Andra bertambah.
"Om" pria itu menyapa, tangannya yang putih dan berotot menyalami pria paruh baya lalu bergantian bersalaman dengan Bunda Ifa, sementara bola mata segelap malam tersebut menatap dalam Shifa sekilas.
"Bagaimana keadaan Papa Nak?" tanya Bunda mewakili Ayah Ifa, mereka belum memasuki kamar rawat inap Rajendra. Masih diluar ruangan. Duduk dikursi panjang khas rumah sakit.
"Alhamdulillah sudah membaik Om Tante, beliau harus istirahat total. Keadaan jantungnya semakin lemah, apalagi mendengar kabar buruk tentang kasus korupsi Tante Risma." papar Andra dengan tenang, menjelaskan secara detail kepada Ayah Ifa tanpa mengurangi dan menambahi cerita yang didengar langsung dari sang Papa.
"Sudah sewa pengacara belum?" tanya Ayah Ifa.
"Sudah Om" jawab Andra.
"Papa sedang istirahat tidak Nak? Kalau sedang istirahat Bunda sama Om tunggu disini saja. Takut menganggu," kata Bunda, berbicara dengan tutur kata yang lembut. Begitu lembut seperti kepribadian orang Surakarta pada umumnya
"Nggak Bun, beliau sedang membaca buku. Om sama Tente masuk aja. Papa pasti bahagia banget kalau tahu kawannya berkunjung," jawab Andra, mempersilahkan kedua orang paruh baya yang tidak termakan usia itu masuk kedalam agar bisa berbincang-bincang lebih leluasa.
Sejak satu bulan setelah kunjungan pertamanya dikediaman Hestamma. Andra terbiasa memanggil Tante dengan sebutan Bunda. Tetapi terbiasa memanggil Om kepada Ayah Shifa, selain Ayah Ifa seseorang yang tegas. Dia juga tidak mudah akrab dengan orang baru. Bahkan dahulu jika Shifa jalan bersama dengannya, Ayah Shifa adalah orang yang paling gencar melarang.
"Papa kamu itu ya, padahal tubuhnya tidak fit. Bisa-bisanya masih membaca buku" Ayah Shifa geleng-geleng sendiri.Selain tekun dan ulet. Rajendra disaat muda merupakan pria pekerja keras. Hancurnya perusahaan dan nama besarnya pasti memberikan pukulan terbesar.
"Papa memang gitu Om," kata Andra begitu mengenal kepribadian sang Papa.
"Kaya kamu!" sahut gadis yang sejak tadi terdiam memperhatikan kedua orangtuanya berbicara.
"Bunda kira kamu sariawan Fa, diam aja sedari tadi" goda sang Bunda.
"Enggak Bun, lagi males bicara aja" jawab Shifa membuat Andra melirik.
"Ayo Bun masuk"
Setelah memastikan orang tua sang pacar masuk ke ruangan. Andra menatap gadis yang sejak kemarin memenuhi otak dan hatinya. Ifa yang menyadari tatapan Andra tidak mengenakan, menelan ludahnya dengan susah payah. Tatapan mata segelap malam tersebut begitu menusuk. Ifa sampai tidak bisa mengalihkan matanya. Seolah terpaku dengan mata serta raut kelelahan diwajah tampan sang Pacar. Masker hitam masih melekat diwajah Andra, Ifa pun begitu. Bedanya Ifa memakai masker berwarna abu-abu.
"Nggak sekolah hm?"
"Kakak melihat Aku disini kan? Kenapa pake nanya segala. Kak Andra nggak mau Ifa kesini? Pengen sendiri? Nggak mau Ifa disamping Kakak? Oke kalau begitu, Shifa bakal pulang!" gadis itu berniat berdiri dari duduknya, membalikkan badan berniat untuk pulang.
Hingga sebuah lengan kekar mencegatnya, membawa gadis itu kedalaman pelukan. Menghirup aroma sabun dan tubuh Ifa yang sudah menjadi ciri khas gadis itu, memejamkan mata. Pundak Ifa Ia jadikan sandaran. Ifa tersenyum kecil. Pria ini sekali-kali harus dimarahi agar mau menunjukkan perasaan yang terpendam. Andra adalah tipe pria yang tidak mau merepotkan siapa pun. Bahkan keluarganya sekalipun.Sejak berumur 16 tahun. Pria itu sudah mandiri. Uang yang kedua orang tuanya beri, Ia sisihkan dan tabung. Sedikit demi sedikit terkumpul, jiwa Andra adalah jiwa bisnis. Tidak terlalu beda dengan sang Papa, mengingat ada darah kakeknya. Arsena Brawijaya didalamnya.
Kini uang itu sudah menjadi pundi-pundi rupiah yang menghasilkan. Meskipun uangnya tidak melebihi kekayaan sang Papa. Andra tidak pernah meminta jika tidak diberi. Pria itu menjauh dari kedua orangtuanya.Sejak kecil, kebahagiaan keluarga hanya Ia rasakan saat bersama sang Bibi.
Uang yang Ia kumpulkan sedikit demi sedikit sudah menjadi sebuah Caffe di ibukota. Bahkan kini dibeberapa daerah ada, namun tidak sebesar di Ibukota. Yang membuat Papanya jatuh bukan hanya kasus korupsi dari Ibu tirinya, melainkan beberapa tahun ini perusahaan Brawijaya sedikit demi sedikit melemah. Kekalahan tender, perusahaan kecil yang pindah tangan. Yang paling besar adalah Perusahaan mempunyai hutang kepada Bank yang nilainya sangat fantastis.
Aset Papanya sudah ludes dijual untuk melunasi hutang kepada pihak Bank, kini yang harus pria itu urus adalah uang yang dimintai kepolisian. Memgembalikan uang yang diduga hasil korupsi Risma Aningrum yang jumlahnya hampir sepuluh milyar.
Mau tidak mau Andra harus menjual Caffe di Ibukota yang saat ini berkembang pesat. Nilai jualnya sekarang sangat tinggi, banyak perusahaan-perusahan besar yang menginginkannya. Itupun belum cukup, Ia harus kembali menjual barang mewah yang Ia miliki, termasuk apartemen yang Ia tempati sekarang. Satu-satunya hal yang Ia punya adalah tabungan untuk sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Mobil yang tadinya mentereng harus diganti dengan mobil biasa.
Satu hal yang sekarang pria itu takuti,Ifa meninggalkan dirinya disaat Ia tidak memiliki apa-apa.
"Saya lelah Fa, izinkan Saya bersandar disini sebentar,"kata Andra lirih sembari memeluk tubuh Ifa, menyelimuti dengan tubuh tegapnya. Tubuh kecil Ifa kini dilingkupi sepenuhnya oleh Andra.
"Ifa selalu di sisi Kakak, Ifa nggak mau Kak Andra berjuang sendiri. Walaupun Ifa nggak bisa bantu banyak, setidaknya biarin Ifa selalu di sisi Kakak. Ifa nggak suka Kak Andra berjuang sendirian, biar Ifa berguna sedikit! Ifa pokoknya marah kalau Kak Andra larang Ifa buat temuin Kakak lagi. Apalagi kondisi Kakak sedang nggak baik-baik aja," kata gadis itu, menjelaskan bahwa marahnya beralasan.
Andra tersenyum tipis"Saya sayang Kamu, forever..."
"Amin" bukankah perkataan adalah doa, dan yang bisa Shifa lakukan kini adalah mengaminkan.
See you next time..
Votenya jangan lupa!!!
Yuk ikutan Aminin ucapan Ifa:)
Spam komen dongꙬ
❀Makasih atas votenya❀
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Amerta
Teen Fiction💐sebuah novel romansa✨ ... Ifa tak pernah menyangka kehidupannya akan berubah 90° ketika mengenal sosok Ketos ngeselin yang selalu mengusik ketenangannya. Hingga mengenal dan membuat dirinya jatuh ke dalam dasar-dasar rawa. Pria itu menuntunnya unt...