"Terluka, sakit, dan jatuh sampai lo lupa caranya tersenyum, sembuh, dan bangkit."
—Galandra Alanta Sadewo
***
Masih pagi dan gue udah bangun buat termenung lagi di kamar nyokap gue yang udah nggak ada. Baru beberapa hari yang lalu rasanya dia tidur bareng gue sambil cerita gimana pengennya dia dulu jadi seorang pramugari dan malah berakhir jadi perawat.
Gue tau, nggak sepantesnya kehilangan diratapi sampai berlarut-larut, tapi kalau boleh jujur, gue sama sekali belum siap sama kenyataan yang satu itu. Ya, siapa sih yang bakalan siap.
Dikasih duit berjuta-juta juga nggak akan mau kalau balasannya kematian.
Tapi, satu hal yang paling gue benci dari semua ini.
Sendirian.
Gue memang masih punya Ayah, tapi semenjak apa yang gue dengar seminggu yang lalu, gue udah bersumpah bahwa Ayah juga ikut mati bareng Bunda.
Gue sama sekali nggak nyangka, keluarga kita yang harmonis bisa hancur cuma dengan sebaris kalimat.
"Theo punya adik dari perempuan selain kamu." Ayah bilang begitu ke Bunda.
Saat itu, gue lupa caranya berdiri dengan bener. Ayah selingkuh, Bunda sakit karena itu, dan Ayah yang mutusin buat bawa selingkuhan dan anaknya tinggal bareng sama gue.
Gue emang pernah mohon-mohon sama Bunda sampe nangis buat dikasih seorang adik, tapi nggak pernah terpikirkan sekalipun gue bakalan dapet adik dengan cara itu.
Gue benci sama dia, tapi sayangnya gue nggak bisa nyalahin takdir. Sebab semuanya udah kejadian, mau nggak mau gue harus nerima semuanya.
Tangan gue masih belum lepas dari bingkai foto Bunda sewaktu muda yang foto di balik gedung tua ala jaman dulu saat gue denger suara ketukan dari luar.
Habis itu wajah asing ngintip di balik pintu buat nanya gue mau sarapan apa nggak.
"Bang, sarapan nggak? Udah ditungguin Ayah di bawah tuh." Katanya.
Suara yang harus gue denger kemarin lusa hingga seterusnya secara terpaksa, suara yang ngingetin gue gimana yang semula baik-baik aja harus hancur dalam hitungan detik.
Gue taruh lagi bingkai foto Bunda di atas nakas, lalu jalan ke pintu yang udah kebuka lebar.
"Gue udah pernah bilang kan jangan masuk sembarangan ke kamar orang lain. Lo budek?" Gue tau, kata-kata gue mungkin kedengeran sarkas, tapi gilanya bocah yang jauh lebih pendek di depan gue ini malah senyum terus bilang.
"Sorry, gue lupa."
Enteng banget. Tapi, berhubung gue nggak mau banyak ngeluarin tenaga buat ngomel-ngomel pagi ini, gue langsung aja turun ke bawah buat sarapan.
Sebelum turun, gue balik buat liat tuh anak yang masih setia berdiri kayak kakinya emang udah kepaku di depan pintu.
"Jangan panggil gue Abang. Gue nggak suka."
Dan begitulah, setiap hari segalanya terjadi nggak sesuai dengan apa yang gue mau.
Dia, Galandra Alanta Sadewo yang harus dengan paksa gue akui sebagai adik tiri gue dan gue, Atheo Mahatma Prajapati.
Dan ini kisah gue, di sini semuanya dimulai, entah awal dari kehancuran atau akhir yang nggak pernah gue kira sebelumnya bakalan terjadi.
***
Atheo Mahatma Prajapati
"Pergi bukan mati!"
Galandra Alanta Sadewo
"Hal yang paling nggak enak di dunia adalah dimarahin pas lagi makan, FIKS!"
.
haiiii, welcome back.
udah berapa lama ya gue nggak nulis, and nggak tau deh makin lancar apa makin kayak kanebo kering. alias kaku.gue nggak tau mau ngomong apaan lagi. yang penting moga kalean suka, dan selamat datang di universe baru. HOYA HOYA!!!!!!!!
.
KAMU SEDANG MEMBACA
PESAWAT KERTAS
Fanfiction"Gue cuman pengen lo bahagia." "Pergi." "..." "Dengan cara itu gue bisa bahagia." /// "Gue... minta maaf, Gal." -SUDAH SELESAI- ~Mulai, 28/10/23 ~Akhir, 02/11/23 ©PESAWAT KERTAS | 2023