21.Pergi Bukan Mati!

282 15 0
                                    


Sudah sangat larut dan Galan baru sampai di rumah. Tubuhnya basah kuyup karena tadi hujan tiba-tiba turun, luka di pelipisnya yang perbannya Galan lepas pun kembali terbuka. Lukanya basah tapi darahnya sudah mengering, namun rasa sakit dari luka yang membuat kepalanya berdenyut itu tidak jauh lebih sakit dari batin Galan sekarang.

Bisa ia lihat motor Theo belum ada di halaman ataupun garasi, berarti cowok itu belum pulang. Entah ke mana, Galan khawatir, jangan-jangan kakaknya minum-minum lagi. Tapi, rasa khawatirnya berusaha ia buang jauh-jauh.

Sebab Theo tidak memerlukan itu, Theo tidak memerlukan ia peduli, tidak memerlukan ia membantu laki-laki itu. Dan seharusnya Galan paham kalau dari awal Theo tidak pernah memerlukannya.

Kehadirannya di sini memang hanya sebagai benalu yang menghancurkan inangnya.

Galan membuka pintu, gelap. Lampu rumah tidak ada satu pun yang dihidupkan. Kecuali yang di halaman belakang.

Galan terkekeh melihat keadaan rumah yang nyatanya sama dengan hatinya kini, gelap, sepi, tidak pernah berwarna seperti bagaimana senyumnya merekah.

Ia bawa langkahnya menuju halaman belakang, duduk tepat di pinggiran kolam. Membiarkan kakinya terendam air, tampa mengganti baju yang perlahan mengering dengan sendirinya.

Ia menatap lekat bayangan wajahnya yang memantul di permukaan air. Wajah itu, wajah yang sebenarnya penuh luka tikaman tapi Galan berusaha sembunyikan dengan senyum. Senyum menyamarkan kesedihannya dari luar, tapi ternyata senyum tidak bisa menyamarkan kesakitannya dari dalam.

"Gue... capek." Air mata Galan turun, jatuh dan menyatu dengan air kolam.

Itu memang bukan kali pertama ia mengatakan bahwa ia lelah hidup seperti ini, tapi kata capek yang keluar dari mulutnya pertama kali terdengar begitu menyakitkan.

Ia sendirian sekarang, semua orang menolak kehadirannya. Mungkin Ayah dan Ibu masih mau menerimanya, tapi mereka berada di tempat yang jauh untuk Galan temui sekarang.

Galan tidak pernah menyangka kalau kehidupannya setelah bertemu Ayah malah makin membuatnya kesakitan, makin menambah lukanya yang memang sudah banyak.

Galan memejam, merasakan sakit yang datang dari segala arah. Kepalanya, perutnya, pinggangnya, sudut bibirnya yang masih terdapat luka dan yang paling parah hatinya. Saking banyaknya luka, Galan jadi tidak tau harus merasakan rasa sakit dari luka yang mana dulu.

Merasakan tiap embusan angin yang menerpa wajahnya, membuatnya semakin kedinginan.

"Kenapa Galan harus lahir?"

Air matanya mengalir semakin deras saat menanyakan itu, tapi kini tidak ada siapa pun yang akan menghapus air matanya, tidak ada yang akan menjawab pertanyaannya, tidak akan ada yang mengatakan bahwa ia pantas lahir dan sangat berharga.

Sebab... Galan sendirian sekarang.

"Kalau memang Galan nggak berguna, kenapa harus ada di dunia ini? Kebahagiaan apa? Kebahagiaan apa Ya Allah, sampai saya tidak bisa menolak untuk lahir?!"

Semakin lama, kesakitan itu semakin pekat Galan rasakan.

Ia sudah cukup banyak mendapat hinaan dan ditolak orang-orang sedari kecil, Galan pikir saat ia sudah dewasa ia akan bisa menghadapi itu. Tapi, nyatanya tidak, ternyata tidak semudah itu ia menghadapi tiap detik tatapan menghakimi serta cemohan dari orang-orang.

Lalu Galan pikir saat bertemu Ayah, kesakitannya akan sedikit berkurang tapi itu juga tidak menjamin. Apalagi saat Theo menambah lukanya menjadi semakin bertumpuk.

"Maaf... kalau kehadiran gue di sini jadi buat lo makin menderita. Gue juga nggak mau lahir Bang, kalau dengan lahir di dunia ini bikin gue semakin kesakitan." Gumamnya.

PESAWAT KERTASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang