14.Senyum Di Atas Luka Menganga

203 15 0
                                    


Pagi kembali hadir, menyapu pandangan Galan dengan angin yang berhembus dari jendela. Membiarkan angin tersebut menjadi salah satu alarmnya, matanya masih memejam saat di waktu yang sama elusan lembut itu menyapa pipinya.

Elusan yang akan selamanya menjadi hal yang paling Galan sukai dari Ibu. Mengerjap beberapa kali, lalu netranya sudah disuguhkan wanita cantik yang rambutnya sudah basah.

"Ibu keramas pagi-pagi?" tanyanya, masih dengan suara serak khas bangun tidur.

"Iya, soalnya kemarin seharian Ibu nggak keramas, rasanya nggak enak banget." Jawab Ibu.

"Nggak dingin? Nanti masuk angin loh, Bu."

"Nggak, Ibu jauh lebih kuat dari yang kamu pikir, Galan."

Galan hanya terkekeh mendengar itu lalu bangun dari berbaringnya, langsung mencium pipi Ibu. Cukup lama ia membiarkan bibir ranumnya tertempel di pipi dingin Ibu.

"Udah."

Galan menggeleng, semakin dalam mencium Ibu sembari tangannya juga ikut mendekap tubuh Ibu. Seakan enggan melepas wanita itu begitu saja. Galan bersumpah ia tidak akan pernah bisa rela kalau suatu hari nanti semesta harus mengambil Ibu.

Ibu terlalu berharga untuk meninggalkannya, jadi Galan berdoa setiap hari agar ia yang lebih dulu Tuhan ambil. Supaya ia tidak perlu menangisi Ibu lebih dulu, supaya Ibu bisa merasa bahagia sedikit lebih lama di dunia sebelum menyusulnya.

"Ih, sudah dong. Nanti pipi Ibu habis kamu sedot." Protes Ibu, yang membuat Galan tertawa ngakak. Lalu melepas kecupannya pada pipi Ibu.

"Sekolahmu bagaimana? Bagus nggak?" tanya Ibu.

"Bagus kok Bu, sekolahnya kayak di drakor-drakor yang pernah kita nonton itu loh. Yang ceweknya jelek terus jadi cantik."

"Filmnya Suho?"

"Cha Eun Woo, Bu." Koreksi Galan. Sebab setelah nonton itu Ibu jadi menyebutnya Suho terus, padahal berulang kali Galan bilang kalau namanya itu Cha Eun Woo.

"Ya udahlah sama aja, terus gimana? Udah dapet temen?"

"Udah, ada satu dan semoga aja sih bisa nambah. Soalnya belum ada yang tau siapa Galan sebenarnya." Jawaban Galan jadi membuat Ibu termangu.

"Ibu minta maaf ya Gal, karena kesalahan Ibu kamu jadi susah cari temen." Ucap Ibu.

"Tuh kan Ibu mah, Galan udah pernah bilang, jangan minta maaf lagi. Masih aja." Galan jadi manyun yang membuat Ibu terkekeh. Mencubit pipi Galan yang cabi itu lalu berucap.

"Iya deh, cerita dong ke Ibu. Temen kamu kayak gimana."

"Emm... Ibu percaya nggak sih kalau ternyata ada yang lebih gila lagi dari Galan?"

"Nggak. Kamu yang paling blangsak soalnya." Galan jadi tambah manyun.

"Tapi, kalau Ibu ketemu dia juga pasti Ibu percaya sih sama omongan Galan. Pertama kali Galan ketemu dia kemarin lusa, udah ada bibit-bibit mengalahkan kegilaannya Galan sih. Masa kemarin yah Bu, dia tuh tiba-tiba masuk ke ruangan kepala sekolah waktu Galan mau nyetor formulir. Cuman mau sembunyi karena udah rusakin ring basket, mana nyablak banget lagi sama kepala sekolahnya." Jelas Galan, menceritakan pengalaman pertamanya yang cukup gila saat bertemu Dandi.

Ibu sampe cengo.

"Masa sih?!"

"Iya Bu, masa aku bohong."

"Tapi, dia nggak nakal kan sama kamu?"

"Nggak kok, untungnya dia masih punya sifat bersahabat sama Galan. Ya mungkin karena sesama cogil."

PESAWAT KERTASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang