Seperti yang kemarin Ayah bilang saat sarapan, ia akan mengurus segala kepentingan untuk kepindahan Galan ke sekolah Theo. Mulai dari mengurus surat-surat dari kepala sekolah Galan hingga kini ia berada di depan sekolah Theo.Sudah lama sekali sejak Ayah menginjakkan kaki ke sini, terakhir kali saat Theo masih menjadi ketua tim basketnya. Saat anaknya itu bertanding, ia dan Kinanti datang untuk menonton.
Betapa senangnya ia dan juga Kinanti saat anak itu berulang kali menyetak skor dengan memasukkan bola ke dalam ring, dan keluar sebagai pemenang. Senyum Theo masih terasa hangat sampai sekarang saat anak itu menatapnya dengan mata yang berbinar-binar.
Ayah jadi merindukan Kinanti, juga merindukan apa yang wanita itu lakukan agar bisa tetap mempertahankan senyum Atheo. Tapi, kini ia malah menghancurkan apa yang selama ini Kinanti jaga.
Ia tidak pernah lagi melihat Theo tersenyum saat mungkin anak itu merasa bahagia, atau menangis saat anak itu sedang memendam sakit. Theo yang Ayah kenal sekarang jauh berbeda dengan Theo yang dulu.
Semua itu, karena ia telah merubah Theo menjadi orang yang berbeda.
"Yah!" panggilan Galan yang masih duduk di sampingnya itu memecah lamunannya seketika.
"I-iya, Gal?"
"Ayah kenapa melamun?"
"A-ah, nggak papa. Kamu beneran nggak mau turun?" tanya Ayah sekali lagi, karena sedari tadi Galan terus memberitahu Ayah kalau sudah sampai di sekolahannya Theo nanti ia tidak ingin turun. Lagipula kehadiran Galan hanya diperlukan di sekolah lamanya, kalau di sekolah tempat ia akan melanjutkan pendidikan cukup Ayah saja.
Dan bukan hanya itu sih alasannya, tapi karena...
"Jangan pernah nunjukin muka lo di sekolah gue bareng Ayah, kalau nggak mau terjadi sesuatu yang nggak lo inginkan."
"Ingat status lo, kalau mereka sampe tau bukan nggak mungkin lo bakalan jadi bulan-bulanan mereka."
Theo mengatakan itu sebelum berangkat ke sekolah, entah untuk melindungi Galan dari orang-orang yang akan mencemohnya lagi atau mempertegas statusnya sebagai anak yang tidak diinginkan.
Tapi, kalau itu kemauan Theo, Galan akan menyanggupi.
"Nggak papa kan, Yah? Kan aku udah nggak ada urusan kalau di sini, tinggal isi formulir aja. Itu juga bisa di rumah."
"Iya juga sih, nggak papa biar Ayah aja yang turun. Kamu tunggu sebentar di sini ya." Galan hanya membalas ucapan Ayah dengan anggukan.
Setelah Ayah turun dan kembali membuatnya merasa sepi, Galan melihat bagian depan sekolah Theo dari jendela mobil yang tertutup. Sekolah ini luas sekali, padahal hanya SMA tapi sudah seperti universitas.
Suasananya juga asri, banyak pohon cemara yang menjulang tinggi di sekitarnya. Gaya arsitekturnya juga seperti sekolah-sekolah yang Galan lihat di drakor-drakor.
Warna bangunannya merah maron dan putih gading, klasik. Halamannya juga luas, banyak anak-anak yang menikmati waktu istirahat mereka dengan duduk-duduk di bangku taman sekolah atau sekedar bermain basket.
Galan jadi ingin cepat-cepat sekolah di sini. Dan Galan berharap ia bisa mendapat teman yang baik seperti teman-temannya di sekolah yang lama.
Tapi, nampaknya teman-teman Galan yang sengklek itu tidak ada duanya. Solidaritas mereka tidak akan pernah Galan temui di tempat mana pun.
Karena Ayah lama sekali, tidak kunjung kembali Galan jadi bosan sendiri. Mengutak-atik hp pun tidak ada gunanya, jadi setelah membalas beberapa pesan di grup 'squad tahu gejrot' ia lalu memutuskan untuk keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
PESAWAT KERTAS
Fanfiction"Gue cuman pengen lo bahagia." "Pergi." "..." "Dengan cara itu gue bisa bahagia." /// "Gue... minta maaf, Gal." -SUDAH SELESAI- ~Mulai, 28/10/23 ~Akhir, 02/11/23 ©PESAWAT KERTAS | 2023