1.Hari Pertama Tampa Bunda

626 29 0
                                    


"Kinanti Wijayanto, telah wafat pada tanggal 21 juni 2023 jam 21:37 waktu setempat."

Itu kalimat terakhir dokter yang Theo dengar saat menerobos masuk ke ruang UGD, tempat Bunda menghembuskan nafas terakhir miliknya.

Hanya beberapa kata, tapi mampu membuat beribu-ribu rasa sakit menghujaminya. Terasa seperti belati tajam menusuk tepat di mana jantungnya berdetak. Theo tidak menangis, tidak juga meraung, hanya mendekat ke arah Bunda serta membisikkan seutas tanya yang tak akan pernah Bunda jawab sampai kapanpun.

"Kenapa Bunda ninggalin Theo?"

Sakit sekali rasanya, dadanya sesak, tapi entah kenapa Theo tidak bisa menangis.

Ayah yang memerhatikan dari jauh lantas mendekat, mengelus lembut punggung sang anak. Seakan kini rasa bersalahnya bertambah berkali-kali lipat.

Setelah apa yang ia akui beberapa hari yang lalu tentang ia yang berselingkuh serta punya anak dari perempuan yang ia selingkuhi, Kinanti jatuh sakit dan kini telah dipanggil oleh yang Maha Kuasa.

Ia tau, betul-betul tau ini semua terjadi karena takdir. Tapi, semua masalah juga bersumber darinya.

"Ayah puas sekarang? Hmm? Bunda udah nggak ada Yah, Ayah bebas kalau mau lanjut berhubungan sama cinta pertama Ayah itu. Theo mau ikut Bunda aja."

Usai berkata begitu dengan mata yang sudah memerah juga dengan berbagai rasa sakit yang datang dari segala arah, Ayah menariknya ke dalam pelukan yang semula hangat kini berubah menjadi pelukan yang begitu menyakitkan.

Theo ingin melepaskan rengkulan itu, namun Ayah jauh lebih kuat mempertahankan. Dan di antara dekap itu, akhirnya Theo bisa menangis. Menyalahkan Ayah atas semua yang terjadi.

"Ayah yang sekarang peluk aku bukan Ayah yang aku kenal. Kenapa, Yah?"

"KENAPA?!"

Tanya dengan semua rasa sakit yang bercambur tersebut kini semakin membuat Ayah kelimpungan. Theo melepaskan pelukannya begitu saja, mengguncang bahu Ayah dengan air mata yang sudah turun membasahi pipi lalu melewati rahang tegas miliknya.

Suaranya bergetar, ia baru saja kehilangan seseorang yang ingin ia ajak segalanya.

Bagaimana ia bisa baik-baik saja?

"Kalau Ayah emang nggak sayang, nggak cinta sama Bunda kenapa Ayah terusin hubungan itu? Kalau sedari awal Ayah nggak nikah sama Bunda, ini semua nggak bakal terjadi, Yah! Theo kecewa sama Ayah."

"Maaf nak..."

"Tante pamit ya Theo, kamu yang sabar, harus bisa ikhlas biar Bunda kamu tenang di sana." Ucapan itu membuyarkan lamunan Theo, pada kejadian saat Tuhan merenggut nyawa yang berharga baginya.

Ia hanya mengangguk, kembali menatap pada apa yang tersuguhkan di depan kini. Pusara yang masih basah, bunga mawar merah kesukaan Bunda yang masih harum, serta nisan yang mengukir nama cantik Bunda. Kinanti Wijayanto.

Sejam lalu Theo ikut menguburkan Bunda, mengadzaninya, mengucapkan sepatah kata sebagai bentuk perpisahan yang tidak ia inginkan.

Rumah baru Bunda kini di sini, rumah Bunda tampa Theo di dalamnya.

Hujan telah turun sedari tadi, turut berduka bersama yang sekarang ditinggalkan. Meninggalkan hawa dingin serta bau tanah basah sebagai bukti bahwa semesta juga ikut menangis bersamanya yang terluka.

Theo mengusap sekali lagi nisan Bunda, membaca bait nama Bunda yang membuat hatinya kembali dihujami belati tak kasat mata.

"Sekarang Theo harus apa, Bun?" tanyanya.

PESAWAT KERTASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang